Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim Sarmin di Zaman Kegilaan

Kompas.com - 31/03/2017, 16:04 WIB
Tri Susanto Setiawan

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - "Selamat datang di dunia yang penuh kegilaan," kata seniman Butet Kartaredjasa membuka lakon berjudul Hakim Sarmin, di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Rabu (29/3/2017) malam.

Lakon Hakim Sarmin berlatar belakang suasana yang ganjil. Para hakim berbondong-bondong memilih masuk ke Pusat Rehabilitasi. Sedangkan para hakim yang tidak mau masuk dikabarkan mati terbunuh.

Wabah kegilaan yang sulit dikenali gejalanya sedang menyebar di kalangan masyarakat intelektual. Kegilaan itu menjalar dengan cepat. Lebih menakutkan dari wabah sampar.

[Baca juga: Malam Ini, Teater Gandrik Sajikan "Hakim Sarmin" di Yogyakarta]

Tokoh sentral dalam lakon ini adalah Hakim Sarmin (Butet) yang sangat disegani di wilayahnya. Namun, ia masuk ke dalam sebuah Pusat Rehabilitasi pimpinan Dokter Menawi Diparani (Susilo Nugroho) karena sesuatu hal.

Pimpinan Pusat Rehabilitasi dianggap bisa mengendalikan para hakim yang menjadi pasiennya. Tempat itu juga dianggap sebagai jalan keluar untuk mengatasi wabah kegilaan. Sedangkan di sisi lain dianggap pemborosan anggaran.

Pimpinan wilayah Mangkane Laliyan (Djaduk Ferianto) resah ketika mendapatkan kabar ada pemberontakan mengatasnamakan revolusi di dalam Pusat Rehabilitasi. Pemberontakan itu untuk mengoyang kekuasaannya.

Pemberontakan itu melibatkan komandan keamanan, politisi muda ambisius, dan juga pengacara penasehat pimpinan wilayah itu.

"Perjuangan kita pasti menang // Keadilan tegak pasti menang // Semua hakim di dunia pasti menang," begitu penggalan lirik yang selalu dinyanyikan oleh para hakim penghuni Pusat Rahabilitasi.

Kepentingan politik, ambisi kekuasaan, siasat licik untuk saling menjatuhkan tersaji dalam pementasan yang dimainkan oleh Teater Gandrik.

Hampir tiga jam tanpa jeda, naskah cerita yang ditulis oleh Agus Noor itu mengupas peliknya persoalan hukum di Indonesia.

"Ya karena kegelisahan melihat hukum kita yang karut marut soal keadilan. Itu persoalan yang rumit, persoalan yang sederhana, hal-hal yang sebenarnya make sense atau masuk akal malah jadi rumit ketika masuk ranah hukum," ujar Agus.

Agus mengatakan bahwa teater bukan sekadar tontonan atau pencapaian eksotik saja. Namun, juga sebagai media atau cara untuk menyampaikan gagasan di tengah masyarakat.

Djaduk selaku sutradara mengatakan naskah yang diberikan Agus cukup kuat dan menarik. Ia harus menginterpretasikan naksah itu ke dalam teater, tetapi tetap menyisipkan isu-isu hukum terkini.

"Kami tambal sulam (naskahnya). Ada hal lain yang harus disesuaikan," kata Djaduk, yang merupakan kakak dari Butet.

Ada yang istimewa dimainkan oleh Teater Gandrik, kata Djaduk, ketika menjalani persiapan lakon Hakim Sarmin dengan 13 pemain dan properti yang minim. Persiapannya begitu singkat  sementara Teater Gandrik sudah dua tahun tidak manggung.

"Dulu kami latihan pertunjukan teater bisa enam bulan atau setahun, yang sekarang harus disiasati meski singkat. Intinya, bagaimana memperistiwakan dari teks naskah tersebut," ucap Djaduk.

"Persoalan yang muncul dari cerita ini bisa menjadi persoalan bersama," kata Butet yang bertindak sebagai produser itu.

Gaya penampilan Teater Gandrik dalam mengupas persoalan hukum di Indonesia begitu lucu dan penuh makna tersirat. Dialog-dialog yang disuguhkan pun berkesan menyentil penuh satir.

Sentilan-sentilan itu membuat ratusan penonton terpingkal-pingkal.

Menyaksikan Hakim Sarmin menjadi menarik, karena karena problematika negara yang diungkap lewat dialog antarpemain begitu hangat di telinga penonton.

Mulai dari persoalan hukum terhadap penistaan agama, kasus E-KTP, kasus makar, hingga kasus sianida menjadi tema yang diperbincangkan di antara dialog itu.

Lakon Hakim Sarmin yang didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation itu telah dipentaskan di TBY sejak 29 dan 30 Maret 2017.

Sedangkan di Jakarta akan dipentaskan di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 5 dan 6 April 2017.

Pementasan ini juga didukung Purwanto (penata musik), Ong Hari Wahyu (penata artistik), Rully Isfihana dan Jami Atut Tarwiyah (penata kostum), Dwi Novianto (penata cahaya), dan Antonius Gendel (penata suara).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com