Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Free Fire", Film Aksi Layak Tonton meski Tanpa Unsur Wow

Kompas.com - 06/05/2017, 13:15 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

KOMPAS.com - Jika Anda ingin rileks dan menyaksikan film yang menghibur serta tak terlalu menguras tenaga untuk berpikir maka Free Fire besutan sutradara Ben Wheatley.

Ben Wheatley yang dikenal lewat film Kill List (2011) dan High Rise (2015), menggandeng Sharlto Copley (The A Team), Arnie Hammer (The Man from UNCLE), Brie Larson (Room), dan Cilian Murphy (Inception) dalam film bergenre aksi-komedi ini.

Dalam film yang naskahnya juga ditulis oleh sang sutradara ini terlihat sangat terinspirasi film-film karya Quentin Tarrantino yang penuh hamburan peluru, darah, dan kata-kata kasar.

Pembelian senjata

Kisah film ini berawal saat dua anggota Tentara Pembebasan Irlandia (IRA) Frank (Michael Smiley) dan Chris (Cillian Murphy) yang ditemani Justine (Brie Larson) menunggu seseorang di sebuah gudang di satu sudut kota Boston.

Tak lama kemudian muncul Stevo (Sam Railey) dan Bernie (Enzo Cilenti) yang akan membantu kedua anggota IRA itu.

Sebelumnya, Stevo mengeluh kepada Bernie bahwa dia baru saja dipukuli seseorang hingga babak belur di sebuah bar.

Kemudian datanglah seorang pria bertubuh tinggi besar bernama Ord (Arnie Hammer) yang berperan sebagai perantara para anggota IRA itu dengan Vernon (Sharlto Copley) seorang penjual senjata ilegal asal Afrika Selatan.

Singkat cerita bertemulah kedua pihak itu di dalam sebuah ruangan bekas sebuah pabrik yang tak terpakai.

Sejak awal, bisnis ilegal ini sudah berjalan tak sebagaimana mestinya. Sebab, Frank dan Chris memesan senapan serbu M-16 tetapi Vernon dan rekannya Martin (Babou Ceesay) malah membawa senapan AR-70.

Beruntung Justine dan Ord, yang berperan sebagai penghubung, bisa mendinginkan suasana dan para anggota IRA itu kemudian bersedia menerima senjata itu.

Setelah sepakat dan uang pembayaran dihitung, Vernon dengan aksen khas Afrika Selatannya meminta dua anak buahnya Harry (Jack Reynor) dan Jimmy (Mark Monero) membawa minibus berisi senjata ke dalam ruang pertemuan.

Masalah berikutnya muncul ketika mobil pengangkut senjata itu tiba di dalam ruangan. Stevo mengenali Harry sebagai orang yang memukulinya di bar hingga babak belur.

Mengetahui keberadaan Stevo, yang menggoda dan menghajar sepupu perempuannya, membuat Harry meradang dan naik pitam

Terjadi pertengkaran mulut yang kemudian memuncak ketika Harry mengambil pistol dan menembak Stevo. Tembakan Harry itu yang kemudian mengubah transaksi tersebut menjadi baku tembak yang kacau balau.

Bagaimana akhir kisah film yang sangat boros peluru ini? Siapa yang akan selamat di akhir kisah? Silakan saksikan film seru yang sudah tayang di berbagai bioskop di Jakarta ini.

Pengaruh Quentin Tarantino

Seperti sudah disinggung di atas, menyaksikan Free Fire seakan menyaksikan karya film sejenis yang pernah dibuat Quentin Tarantino.

Begitu menyaksikan film ini, Kompas.com langsung mengingat dua film besutan Tarantino yang senada dengan film ini yaitu Reservoir Dogs (1992) dan The Hateful Eight (2015).

Dalam kedua film Tarantino itu beberapa karakter muncul di awal film lalu bertemu di satu tempat yang sama tempat kekacauan berdarah akhirnya terjadi.

Namun, yang menjadi pembeda adalah, dalam Reservoir Dogs atau The Hateful Eight masih ada karakter "putih" yang menjadi tokoh sentral cerita.

Dalam Reservoir Dogs terdapat karakter bernama alias Orange yang akhirnya diketahui bahwa dia adalah polisi yang disusupkan ke dalam kelompok perampok berlian.

Sementara dalam The Hateful Eight terdapat karakter Major Marquis Warren yang diperankan sebagai Samuel L Jackson meski bukan tokoh "putih" tetapi "diarahkan" menjadi toko sentral.

Nah, dalam Free Fire, sang sutradara Ben Wheatley, memberikan bobot nyaris sama bagi seluruh karakter yang muncul dalam film ini.

Tak ada tokoh "putih" dalam kisah ini, karena semua yang terlibat adalah para kriminal dan anggota kelompok ekstrem IRA.

Sang sutradara juga mengajak penonton terus menerka siapa sebenarnya tokoh utama dalam film yang penuh dihiasi desingan peluru itu.

Ringan tapi penuh kejutan

Perbedaan lain dibanding karya-karya Tarantino adalah sedari awal Ben Wheatley agaknya memang merancang film ini sebagai hiburan ringan.

Dialog-dialog di antara para karakter juga mengalir ringan dengan candaan-candaan jalanan yang mudah dicerna penonton dari berbagai latar belakang.

Berbeda dengan film-film Tarantino yang meski sama "brutalnya" seringkali dibumbui dialog-dialog yang cukup berbobot.

Salah satu contoh adalah dialog panjang antara Beatrix Kiddo (Uma Thurman) dan Bill (David Carradine) dalam Kill Bill Vol.2

Demikian pula The Hateful Eight yang dipenuhi dialog cukup serius di antara para karakternya sebelum desingan peluru dan darah menghiasi layar.

Selain itu, upaya meringankan suasana film juga dilakukan Ben Wheatley dengan menggunakan lagu-lagu John Denver di sela-sela adegan baku tembak.

Meski ringan, bahkan menurut Kompas.com amat ringan, film ini juga sanggup menahan penonton untuk tak melihat jam tangan atau jam di ponsel mereka.

Kejutan demi kejutan disajikan secara beruntun dalam timing yang pas sehingga penonton terus "dihantui" pertanyaan apa yang akan terjadi kemudian.

Kejutan akan terus tersaji bahkan hingga menit-menit terakhir di saat penonton mungkin sudah menghela napas lega karena baku tembak sudah berakhir.

Intinya, meski tak menghadirkan "wow" seperti film-film Tarantino, tetapi Free Fire tetap layak dinikmati para penggemar film.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com