Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelas Cerpen "Kompas" 2017, Merawat Fiksi Koran

Kompas.com - 14/06/2017, 19:53 WIB

Tim Redaksi

 

Peserta termuda

Dari karya-karya cerpen yang masuk dan terkurasi juga memunculkan satu ciri yang sebenarnya merupakan pola lama yakni pengarang perempuan cenderung menjadi juru bicara dari kaumnya.

Perempuan bercerita tentang perempuan. Sementara, pengarang laki-laki juga punya preferensi memegang karakter kemaskulinannya.

Dari karya yang masuk, jarang ditemui karya tentang perempuan yang ditulis oleh pengarang laki-laki. Tema yang dibawakan pengarang perempuan juga cenderung masih berisi gugatan akan kesetaraan.

Peserta Rika (24) dari Banjarbaru, Kalimantan Selatan, mengamini kecenderungan itu. Cerpen yang ditulisnya untuk dikirimkan mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2017 juga bercerita tentang kisah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.

Rika sendiri mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2017 dengan sokongan dana dari Pemerintah Kota Banjarbaru yang dipimpin Walikota Banjarbaru Nadjmi Adhani. “Pemkot kami sangat mendukung untuk kegiatan kesenian,” kata Rika.

Peserta termuda yang lolos kali ini adalah Meutia Swarna Maharani (15), siswa Kelas 1 SMAN Banjarbaru. Meutia atau panggilannya Ara sebelumnya sudah sangat produktif menulis fiksi.

Cerpen-cerpennya beberapa kali dimuat di media cetak lokal seperti Banjarmasin Post dan Media Kalimantan. Puisi karyanya juga pernah dimuat di Majalah Bobo.

Ara mengaku senang menulis fiksi berkat kebiasaan ayahnya yang selalu membacakan cerita kepadanya setiap menjelang tidur. Salah satu novel yang dibacakan ayahnya adalah novel dongeng Narnia.

Ketika berusia 4 tahun, Ara kerap minta ayahnya mengetikkan cerita yang dikarangnya di komputer berhubung ia sendiri belum bisa baca tulis. “Misalnya cerita saya dimarahi orangtua karena menonton televisi terlalu dekat atau pas saya lihat kupu-kupu,” kenang Ara.

Di usia lima tahun, Ara kecil sudah bisa membaca dan salah satu novel yang digemarinya adalah Totto Chan karya tetsuko Kuroyanagi. Di usia belia itu dia mencoba-coba menulis cerita karangannya di komputer dengan satu jari. Ceritanya hal-hal yang sederhana dan singkat.

Ara, yang menyenangi penulis Dee Lestari, mengaku di sekolahnya sejak SD tidak dikenalkan karya sastra. Dirinya mengenal bacaan-bacaan sastra berkat didikan dari orangtuanya sendiri.

“Dulu waktu SD kalau bawa novel ke sekolah ditegur, dianggap bisa mengganggu pelajaran. Bukunya juga disita. Dulu kata guru kalau kebanyakan baca novel bisa bikin kita enggak bisa matematika,” ujar Ara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com