Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Masa Depan Koleksi Seni Istana Presiden

Kompas.com - 19/07/2017, 21:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

KOLEKSI seni Istana Presiden pada Agustus bulan depan bisa dijenguk publik luas. Konon, akan diselenggarakan ekshibisi istimewa di Galeri Nasional Indonesia. Mengulang tahun lalu, menyemarakkan hari Kemerdekaan.

Tahun ini semestinya lebih baik. Semoga seni tidak untuk politik bersolek. Tapi, benar-benar upaya membangun jati diri keindonesiaan.

Sementara, ingatan kemerdekaan menerbangkan benak di kota Yogyakarta pada 1947. Tatkala langitnya muram ditaburi bubuk mesiu dan peluru.

Belanda belum rela melepas Indonesia dan perang dikobarkan pada Republik muda ini. Uniknya, Soekarno masih sempat memikirkan seni.

Ia melayangkan surat sangat personal ke Pandit Jawaharlal Nehru. Isi surat memohon sahabatnya itu membantu pelukis Affandi melanjutkan studi seni.

Affandi akhirnya berhasil menimba ilmu seni di Institusi Santiniketan, India selama 1949-1951. Dua tahun kemudian Affandi menjadi seniman pertama Indonesia yang berpameran di ajang prestisius di Venice Biennale (Italia) dan Sao Paulo Biennale (Brazil).

Pada cerita lain, Soekarno harus bernegoisasi berat dengan Presiden Meksiko, Dr Mateus Lopez. Lagi-lagi soal seni. Kali ini terpikat lukisan maestro dunia Diego Rivera, “Women with Flowers (1946-50)”.

Soekarno merengek agar lukisan itu diboyong ke Indonesia. Karena seluruh karya seni Istana Presiden Meksiko dilindungi Undang-Undang, Lopez terpaksa mengeluarkan Dekrit Presiden.

Dua narasi menarik tentang Soekarno dan seni tersebut, jeli dicatat oleh peneliti sekaligus kurator Mikke Susanto dalam buku “Bung Karno, Kolektor & Patron Seni Rupa Indonesia (2014)”.

Anda bayangkan, seorang presiden, sekaliber Soekarno mau bersusah payah. Ia meluangkan waktu dan energinya untuk seni. Bahkan, ia berhadapan langsung dengan dua pemimpin negara, semata-mata melabuhi seni.

Tak hanya soal hobi dan koleksi saja. Seni, dianggap Soekarno media perjuangan membantu Indonesia berdiri dengan kepala tegak. Utamanya, sejajar dengan negara-negara Barat yang menghargai karya-karya seni dalam peradaban negerinya. 

Dari sejarah, masih dicatat oleh Mikke Susanto, tiap kunjungan Soekarno keluar negeri selalu menyempatkan diri bertandang ke Museum atau Galeri Nasional. Sebagai contoh, di National Gallery of Art di Amerika Serikat (Juni 1956) dan di Museum Seni Lukis Negeri Tretstakovskaya, Uni Sovyet (Agustus 1956).

Pada tahun yang sama, sekitar November-Desember, Soekarno malahan bertemu dengan Pemimpin Besar Republik Rakyat China, Mao Zedong guna membincangkan pencetakan buku Koleksi Istana Presiden Indonesia di Peking.

Harta tak ternilai di lima Istana Presiden di Indonesia ribuan jumlahnya. Yang dianggap sebagai karya seni, sebagian besar milik pribadi Soekarno yang kemudian dihibahkan untuk dirawat negara.

Tentunya, Sekretariat Negara-lah sebagai Kementerian yang bertanggung jawab penuh mengelolanya. Meskipun mengelindap rasa syukur di hati bahwa pemerintah memulai memperhatikan koleksi seni Istana Presiden dengan pameran akbar di Galeri Nasional.

Tapi, kebijakan berupa Undang-Undang perlu dibuat untuk perlindungan khusus. Dengan menimbang beberapa perkara.

Lima perkara mendesak

Pertama, pameran tahun lalu menunjukkan cacatnya sejumlah karya. Dengan demikian ribuan harta tak ternilai tersebut terancam rusak total, jika diabaikan.

Seperti juga yang sempat dikeluhkan oleh Guruh Soekarnoputra dalam Seminar pada pameran tahun lalu. Guruh menjadi salah satu narasumber utama. Karya-karya tersebut tersimpan di lima Istana Presiden dan satu Pesanggrahan khusus.

Yakni di dua Istana di Jakarta, Istana Bogor, Yogyakarta, dan Tampaksiring (Bali). Sisanya, Pesanggrahan Presiden di Cipanas.

Menjadi tanggung jawab kurator dan penyelenggara agar lebih berhati-hati memilih dan memilah karya untuk dipresentasikan ke publik. Tentu dengan mengingat proses untuk memamerkan membuat kondisi karya makin rapuh.

Pemerintah wajib memikirkan visi kedepan, mencegah kerusakan karya-karya tersebut.
Yang kedua, adalah publisitas ke publik internasional tidak maksimal.

Media internasional tahun lalu sedikit memberitakan acara penting ini. Bukankah, pameran juga memiliki intensi mengabarkan pada dunia bahwa bangsa Indonesia mampu menjaga warisan para pendahulunya, artefak seni budaya sebagai simbol kedaulatan bangsa yang merdeka dan beradab?

Dalam agenda-agenda harian pun dunia internasional wajib tahu. Selain Museum-museum berskala nasional dibawah Kemdikbud ada pula entitas lain, semacam “Museum” Istana Presiden yang menyimpan memori kolektif bangsa.

Yang ketiga, dibentuknya Dewan Kurator multi disiplin. Hari ini, kita dituntut tidak hanya paham sejarah, membuat program kuratorial berupa agenda berbobot dan keahlian konservasi benda –benda kuno saja, serta membuka seluasnya kajian penelitian dan akses pendidikan ke publik.

Bung Karno mengunjungi Pameran Sanggar Pelukis Rakyat, Jl. Sultan Agung, Yogyakarta, sekitar 1950-1953.IVVA Bung Karno mengunjungi Pameran Sanggar Pelukis Rakyat, Jl. Sultan Agung, Yogyakarta, sekitar 1950-1953.
Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) wajib menginisiasi Dewan Kurator yang tak hanya memahami sejarah seni dan sejarah umum di Indonesia, serta rentetan panjang kehidupan Soekarno, tapi juga kondisi mutakhir masyarakat sekarang.

Latar belakang politik, peristiwa revolusi, motif-motif dan visi Soekarno tentang kebudayaan tentu sudah pasti harus tahu. Selain itu, juga ada kemampuan manajerial dan inovasi-inovasi sebagai kekuatan utama menghubungkan koleksi Istana Presiden tersebut dengan lajunya zaman.

Akan sangat ideal jika dewan khusus dibentuk seperti di Amerika Serikat, National Endowments for the Arts, yang akan memayungi secara legal lembaga-lembaga seni dan komunitas dengan intitusi seni budaya independen. 

Yang keempat, berkaitan dengan politik anggaran. Masyarakat tentunya sangat bersyukur jika minimal ada Keppres yang akan menyediakan secara khusus anggaran untuk memelihara benda-benda bersejarah tersebut.

Dengan demikian, Setneg memiliki wewenang mutlak untuk menggagas, merencanakan, membentuk tim khusus serta membenahi infrastruktur dasar pengelolalaan benda seni, memastikan poin-poin satu sampai ke-tiga tersebut diatas bisa terwujud.

Dari sana, kita merasakan kehadiran negara lebih dekat, sekaligus membumikan cita-cita Soekarno bahwa seni adalah bagian integral dalam mengisi kemerdekaan.

Yang terakhir, memotivasi partisipasi publik memonitor dan mengakses karya-karya koleksi Soekarno setiap saat. Pada abad digital, segala hal menjadi transparan. Dengan mengizinkan “membuka gerbang” Istana presiden lebih luas, masyarakat ikut memiliki.

Imajinasi keindonesiaan mampu ditularkan secara otomatis, tanpa menunggu sebuah pameran khusus tiap tahun. Dengan belajar pada masa lampau, berefleksi di saat ini untuk bekal masa depan, sangat urgen dilakukan, terutama bagi generasi muda.

Tantangan disintegrasi, maraknya intolerasi, dan melemahnya semangat kebinekaan bisa direduksi dengan mengeksplorasi objek-objek seni itu sebagai elemen penting, kenapa kita menyebut diri sebagai bangsa Indonesia? Lukisan atau patung, menyimpan simbolisme kuat tentang sejarah berdirinya negeri ini.

Kembali ke pameran yang akan digelar Agustus nanti di Galeri Nasional Indonesia. Tentu saja, jika jadi terselenggara. Dalam hitungan hari kita sudah memasuki bulan keramat Harlah Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72. Namun, belum ada sosialisasi dari penyelenggara.

Semoga bertemunya berbagai pihak dalam satu acara, kolaborasi Kemdikbud, Bekraf, dan Setneg serta Bank Mandiri bisa berjalan dengan baik.

Bagaimanapun, event sejenis tahun lalu dengan tajuk “17:71 Goresan Juang Kemerdekaan 2016” akan diulang lebih menarik. Sebagai langkah penting tahun ke-2, Pemerintah Republik Indonesia secara serius memikirkan masa depan warisan Soekarno dalam bidang budaya yang menjadi milik kita bersama.

Video-video di bawah ini, menggambarkan bagaimana Soekarno dan segala perhatiannya terhadap seni. Simak videonya di bawah ini:


Soekarno dan pemimpin lain sedang jumpa pers dengan jurnalis luar negeri (1947) dirumahnya dijalan Pegangsaan Timur no.56. Sebagai latar belakang (backdrop), lukisan Henk Ngantung, yang menggambarkan laki-laki memegang anak panah, simbol kemerdekaan dan bangsa baru menatap masa depan.



Soekarno bertemu pemimpin RRC, Mao Zedong dan diperlihatkan di foto-foto (1956). Mao dan soekarno terlihat membahas buku-buku lukisan koleksi Istana Presiden RI yang akan dicetak di Peking.


Soekarno dan delegasi Indonesia disambut para pemimpin Hungaria (1960), dan sempat menyaksikan pertunjukan drama di sebuah gedung opera.

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com