Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Saat Kekuatan Media Sosial Menggusur Arti Selebritas

Kompas.com - 08/08/2017, 07:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Mereka ditasbihkan sebagai Youtubers, Vlogers, Blogers, Facebookers, Selebgram, Buzzer (Twitter), dan lain sebagainya.

Mereka bukan selebritas yang sering muncul di televisi, tertulis di koran, atau terdengar di radio. Malah tidak jarang pada akhirnya selebritas media sosial itu jadi narasumber di berbagai medium tersebut, dengan alasan mereka menjadi subjek yang diperbincangkan warganet atau netizen secara massif.

Istilahnya, menembus batas! Sebutlah beberapa nama yang eksis di Youtube dan Instagram, ada Ria Richies, Awkarin, Gita Shaf, Gen Halilintar, dan lain sebagainya.

Adapun di Twitter dari mulai politisi hingga pekerja seni. Masuk dalam list ini di media sosial twitter @tsamaraDKI milik Tsamara Amany, Presiden Indonesia ke 6 @SBYudhoyono dan lain sebagainya.

Para selebritas itu menggunggah atraksi atau tema yang serius hingga hanya bercirikan keseharian dan hal-hal yang enteng dan remeh, bahkan penuh kontroversi.

Ternyata itu yang paling disuka dan banyak digemari. Semisal "Putus Pacar Awkarin", "Review Mobil", "Tips menaklukan Cewe dalam 10 Menit", "Foto2 Narsis", "Parodi ringan", dan lain sebagainya.

Di laman media sosial, seorang selebritas tidak hanya dilihat dari kemampuannya semata bernyanyi atau berlaku dalam lakon peran. Lebih banyak lagi varian ekspresi yang disuguhkan secara customize bagi netizen.

Atas itu semua, maka muncullah fenomena ustaz Youtube, kemudian traveler, chef, magician, dan lain sebagainya. Di sinilah titik tumbuk selera narcisme bertemu pasarnya secara alamiah.

Sigmund Freud, seorang psikolog tersohor, menjelaskan narsisme sebagai kepribadian seseorang yang mengejar pengakuan dari orang lain terhadap kekaguman dan kesombongan egoistik akan ciri pribadinya.

Akun medsos menjadi kanal efektif narsisme kepribadian yang pada akhirnya diakui oleh orang lain dalam bentuk ribuan "likes" atau "love". Setali tiga uang, beragam iklan menyemut di pusaran tersebut secara langsung maupun tidak.

Maka, semenjak saat itu ruang kreatif dan laman selebritas virtual punya prasyarat tambahan, account atau channel-nya harus mampu di-monetize atau dikapitalisasi sesuai dengan target produk yang melekat kepadanya.

Hemat penulis, sejak saat itu kita sesungguhnya tidak bisa lagi memandang bahwa postingan tersebut sebagai sebuah pekerjaan indie atau sukarela biasa, tapi sudah menjadi industri tersendiri yang memiliki karakter dan segmentasi pasar yang unik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com