Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Seni Bernafaskan Islam dan Festival Istiqlal

Kompas.com - 29/01/2018, 17:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

PADA 1972, Popo Iskandar, pelukis ternama yang gemar menuangkan gagasan-gagasannya di surat kabar, mengupas pameran solo Ahmad Sadali di harian Berita Yudha.

Ahmad Sadali adalah salah satu pelukis dan intelektual penting dalam seni bernafaskan Islam dalam sejarah seni rupa modern Indonesia. Popo dalam artikelnya menyebutkan, dalam Islam ada hal yang bisa mengatasi manusia dari rasa penderitaan, yakni: bersyukur.

Memuji keagungan dan kemurahan Tuhan. “Dengan demikian, saya rasa seni Sadali adalah manifestasi perasaan bersyukur atau ikhlas; penyerahan diri secara total pada-Nya,” tulisnya.

Rasa syukur itulah yang jauh sebelumnya pada abad ke ke-18 menembus jantung peradaban Eropa. Spiritualitas Islam, yang diterima dengan tangan terbuka, tak dikungkung kaidah-kaidah kaku dalam teologi meluluhkan hati Johann Wolfgang von Goethe. Pencipta kanon sastra Eropa Faust, serta ilmuwan ternama dari Frankfurt, Jerman.

Goethe, yang di kemudian hari dijadikan ikon negara Jerman sebagai institusi kebudayaannya semenjak awal memang jatuh cinta pada Islam. Bahkan di masa remajanya ia gandrung dengan kisah-kisah mistik pun dongeng-dongeng dari dunia Timur, seperti Arab dan Persia, yang kemudian tatkala dewasa Goethe memilih memeluk erat terutama sufisme Islam.

Ia suntuk mendalami berbagai khasanah budaya dan seni Islam yang membuatnya terpikat sekali pada tokoh dan sajak-sajak penyair Persia, Hafiz, yang seterusnya membawa ketertarikan ilmuwan Islam lain, filsuf, politikus dan penyair Muhammad Iqbal dari Pakistan yang mengenang ketokohan Goethe dengan sangat takzim.

Simak salah satu sajak Goethe yang indah:

Alangkah pandir menganggap diri istimewa
Mengira keyakinan sendiri benar belaka.
Bila makna Islam pada Tuhan berserah diri,
Maka dalam Islam semua kita hidup dan mati.
(Kutipan dari West-Oestlicher Divan translasi oleh Damshäuser dan Sarjono)

Matra tentang Islam, Al Quran dan Muhammad SAW, dengan ungkapan yang merindu-dendam dibawakan dengan sangat elok oleh Goethe di Diwan Barat-Timur (West-Oestlicher Divan). Yang pada masa itu di Eropa hanya ia-lah yang berani menyuarakan.

Hampir bisa dipastikan mustahil, jika bukan sang begawan sastra keturunan bangsawan itu yang mampu membawakan indahnya Islam dengan sangat proporsional. Islam yang dianggap liyan di Eropa menjadi begitu kokoh sekaligus anggun di hati sang seniman agung itu.

Berbagai penelitian, salah satunya dari kritikus seni rupa Charlene Spretnak (The Spiritual Dynamic in Modern Art: Art History Reconsidered, 1800 to the Present, 2014), mengungkap bahwa ekspresi spiritualitas dalam seni ditemukan oleh para seniman-seniman Barat.

Mantra abad ke-20, dengan kokohnya pandangan-pandangan sekuler dan estetika modernisme yang menolak dzat dan kekuatan di luar nalar dan eksistensial diri-nya senyatanya rapuh.

Seniman-seniman Barat, pasca-avant-gardisme mempercayai akan energi adi kodrati yang menjadi ilham utama, dalam karya-karya yang menghamparkan narasi-narasi kehampaan, tragedi, dan kebimbangan hidup menemukan kembali ekspresi artistiknya dalam ketuhanan.

Warisan Goethe, dengan paras romantisisme, yang dikatakan penonjolan wilayah esoterik yang paling abstrak; yang personal, yang persentuhannya dengan Tassawuf, Goethe merasakan epifani dalam dirinya dengan ruh Islam dalam puisi-puisinya rupanya menular pada seniman-seniman Barat lain.

Meskipun bukan Islam, namun fenomena itu melahirkan kembali jalan spiritual yang dipeluk erat para seniman-seniman Barat. Salah seorang perintis kanon spiritualime seni dalam seni abstrak Barat, adalah Wassily Kandinsky yang mempercayai jiwa dan emosi berperan penting dalam produksi seni.

Sementara kita tahu bahwa ekspresi seni dituntut untuk mengejawantahkan persoalan tak hanya dunia dalam diri yang reflektif, namun ada energi kontekstual dengan relasi-relasi di luar dirinya, yakni elemen-elemen estetik yang memunculkan kekuatan transformatif.

Spiritualisme, dengan demikian menjadi wahana utama untuk memproyeksikan kekuatan reflektif personal menjadi energi transformasi sosial, seperti karya-karya seni kontemporer dengan objek-objek yang tak hanya berdiam dalam sebuah tempat.

Namun berkecimpung langsung dengan aktivitas-aktivitas seniman untuk mencari solusi persoalan-persoalan keseharian yang berdimensi ketuhanan yang memancar dalam nilai-nilai kemanusiaan, seperti pengentasan kemiskinan, ketimpangan sosial dan keadilan, keberpihakan pada yang tertindas, penegakan hukum, pendidikan, dan lain-lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com