Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Adisurya Abdy: Film Stadhuis Schandaal Tontonan bagi Milenial

Kompas.com - 07/06/2018, 22:03 WIB
Irfan Maullana

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Film Indonesia sedang melaju cepat. Produksi meningkat, begitu juga dengan animo penonton terhadap film Indonesia, kian bertambah.

Untuk menjaga agar film Indonesia tetap di hati penonton, sineas dituntut untuk membuat cerita dan kemasan yang selalu baru dan menarik, khususnya bagi penonton film generasi mileneal.

Kondisi ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi sutradara senior Adisurya Abdy untuk menghadirkan sebuah cerita dengan kemasan apik memanfaatkan teknologi film terbaru, computer generated imagery (CGI).

Tahun ini, Adisurya yang juga aktif sebagai penulis, kembali menggarap film terbaru berjudul Stadhuis Schandaal. Bagi Adisurya saat ini dunia film di Tanah Air kian hari semakin berkembang.

Hal ini ditandai dengan munculnya sineas-sineas muda berbakat yang memproduksi film dari berbagai genre, mulai dari drama, komedi, horor, film laga dan sebagainya. Kondisi ini yang membuat dirinya semangat untuk membuat film terbaru dengan membidik segmen milenial.

"Di produksi film saya berjudul Stadhuis Schandaal, saya berusaha maksimal baik dari unsur cerita dan teknologi. Karena hasrat dan selera penonton terus berubah. Ketika film memasuki zaman mileneal, kami juga hadir di era kekinian," ujar Adisurya dalam siaran pers Kamis (7/6/2018).

Baca juga: Membangkitkan Suzzanna Sang Ratu Film Horor ke Layar Lebar

Lebih jauh dijelaskan Adisurya, pilihannya membidik segmen milenial --berusia 12 hingga 27 tahun-- didasarkan kenyataan bahwa kelompok ini yang mendominasi jumlah penonton bioskop di Tanah Air.

Karena itu, ia bersama produser Omar Jusma dan produser eksekutif Alexander Sutjiadi tertantang memproduksi film bergenre drama thriller dan misteri yang mampu menarik minat sebagian besar anak muda.

Stadhuis Schandaal merupakan film yang mengangkat aspek nilai sejarah dengan pendekatan kekinian, agar dapat diterima oleh milenial. Adisurya menjelaskan, industri film Indonesia banyak mengangkat cerita sejarah sebagai film layar lebar, namun karena penggarapannya jauh dari aspek menghibur sehingga cenderung tak diminati penonton, khususnya milenial.

"Kelemahan film kita adalah mengangkat kisah nyata sejarah tapi tidak dalam wujud kekinian, dalam artian memakai format pendekatan hiburan dan pop," kata Adisurya.

Adisurya yang menempuh pendidikan di Advanced School for Film Directing (1986-1987) di Los Angeles, Amerika Serikat, pernah menyutradarai berbagai film seperti Gita Cinta dari SMA, Roman Picisan, dan Asmara.

Menurut Adisurya, para pelaku industri perfilman, termasuk sutradara, tidak bisa menghindari hal itu karena penonton film di Indonesia rata-rata didominasi dari kalangan berusia 12 hingga 27 tahun.

"Kalau kita bicara sejarah tempo dulu, maka mereka tidak paham. Filmlah yang memiliki ruang dan alat untuk memberi tahu mereka, apa dan siapa yang pernah terjadi di negeri ini. Caranya ikuti selera milenial," kata Adisurya.

Baca juga: Main Film Horor Perdana, Christian Sugiono Diteror Boneka Sabrina

Melalui film Stadhuis Schandaal, Adisurya ingin menawarkan sesuatu yang berbeda, dari tema-tema film yang dipenuhi horor yakni cerita sejarah namun dalam balutan kekinian atau pop.

Film Stadhuis Schandal sendiri mengisahkan tentang Fei (diperankan Amanda Rigbi), seorang mahasiswi Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang sedang mengerjakan tugas kampus mengenai The Old Batavia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com