Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Coming Home with Leila Chudori: Dua Penulis Memburu Raden Saleh

Kompas.com - 29/04/2020, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Kita tak punya lagi kekuatan besar untuk membela martabat, seperti yang pernah diperlihatkan Kanjeng Pangerang Dipanegara. Meski demikian bila ada kesempatan, ada baiknya kita berusaha menunjukkan kepada orang-orang itu bahwa kita tidak ketinggalan peradaban." (Pangeran dari Timur, hal. 257)

ADA dua lukisan karya dua perupa yang berbeda dengan obyek yang sama. Pertama berjudul Penyerahan Diri Diponegoro karya Nicolaas Pieneman (1835). Lukisan kedua berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh (1857).

Lukisan pertama adalah tafsir Pieneman tentang peristiwa yang mengakhiri Perang Jawa pada 1830. Pangeran Diponegoro ditangkap dalam keadaan tak berdaya, sedangkan Jenderal De Kock berdiri di belakangnya dengan telunjuk ke atas. Arogan, meski warna-warna yang mendasarinya lembut dan samar.

Adapun lukisan karya Raden Saleh, sesuai dengan judulnya, menampilkan Pangeran Diponegoro yang mengangkat kepalanya, seolah memperlihatkan wajah perlawanan atas penangkapannya. Warna-warni lebih kental dibanding karya Peineman.

Kedua lukisan ini menjadi salah satu aspek selain puluhan faktor lain yang membuat Iksaka Banu dan Kurnia Effendi sama-sama tertarik untuk mendalami sosok pelukisan Raden Saleh.

Pencarian, riset, wawancara dimulai secara sporadik sejak tahun 1999 di antara pekerjaan sehari-hari mencari nafkah.

Terkadang mereka berhenti total, kemudian memulai kembali, hingga akhirnya Kurnia Effendi mendapat kesempatan mengikuti program Writers in Residence di Belanda. Maka, lengkaplah sudah seluruh riset yang mereka lakukan hingga tahun 2019.

Lalu, bagaimana mereka membagi tugas penulisan novel yang sudah lama ditunggu pembaca ini?

Setebal 591 halaman, Iksaka Banu mendapatkan porsi penulisan pelukis Raden Saleh sejak dia masih bernama Sarip dan dengan pitutur seorang bangsawan Jawa yang tunduk mendengarkan nasihat dan saran kakak-kakaknya (yang kelak ditangkap Jenderal De Kock).

Adapun Kurnia Effendi menulis dengan setting Hindia Belanda 100 tahun kemudian, ketika dunia pergerakan sudah berkobar menantang Belanda di sela percintaan kaum muda.

Pada bagian ini, Raden Saleh adalah nama yang tetap kontroversial. Karyanya diapresiasi, tetapi juga dikritik.

Novel ini bukan saja sebuah tafsir dan kebebasan menggunakan lisensi poetika para penulis, tetapi kita juga mencoba mencari sesuatu yang implisit.

Kita mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan: Siapakah Raden Saleh? Apakah dia seorang pahlawan atau pecundang?

Apakah dia seorang yang lihai memanfaatkan situasi-–dia mendapatkan beasiswa ke Belanda sementara kakak-kakaknya ditahan oleh Jenderal De Kock--atau seorang yang melawan melalui karya sembari bersiasat?

Hingga akhir novel, kedua penulis sengaja tak ingin menghakimi. "Kami hanya menyajikan fakta dan membuat tafsir," demikian jawab Iksaka Banu dan Kurnia Effendi dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori" yang akan diudarakan pada Rabu (29/4/2020).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com