Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Mengapa Kita Tetap Butuh Toko Buku?

Kompas.com - 14/04/2021, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KAPANKAH terakhir kali kita berdiri di depan rak sebuah toko buku sambil membaca judul satu per satu dengan hati bahagia dan penuh ketika melihat ada karya terbaru penulis kecintaan, seperti Alice Munro atau Orhan Pamuk?

Atau, kapankah merasakan bergairah ketika menemukan novel grafis terbaru yang gambar serta warnanya menyembuhkan mata yang lelah?

Untuk saya: Maret 2020, tepat setelah pengumuman bahwa pandemi sudah masuk ke Jakarta.

Dari yang seminggu sekali mampir di toko buku sampai yang absen setahun dan hanya memesan melalui online.

Sejak Maret 2020, hidup di Indonesia (dan dunia) berubah di semua lini industri, termasuk kehidupan ekonomi para pecinta buku, penulis buku, penerbit buku dan toko-toko buku.

Ketika pengumuman Toko Buku Kinokuniya ditutup 1 April 2021, sebetulnya kita tahu ini salah satu bagian dari kesedihan di era pandemi yang tak menentu ini.

Bahwa masyarakat pembaca heboh mengirimkan komentar, foto kenang-kenangan, menulis utas betapa berjasanya toko buku ini padanya, dan para wartawan segera membuat berita "duka cita" ini mungkin merupakan bentuk keprihatinan sesaat.

Tutupnya sebuah toko buku, yang sebelumnya sudah terjadi pada Toko Buku Aksara Kemang, jaringan Toko Buku QB dan beberapa cabang Toko Buku Gramedia. Bagi saya, tutupnya sebuah toko buku adalah sebuah "kematian".

Tentu saja, toko buku tersebut masih beroperasi di area A atau B (dalam hal ini, Kinokuniya Grand Indonesia masih tetap ada) dan selain itu mereka juga tetap melayani pembelian online, seperti juga toko buku lainnya.

Keresahan ini kami utarakan melalui chat. Kami di sini adalah kawan-kawan sesama pecinta buku dan host podcast "Kepo Buku" yang terdiri dari Rane Hafied (Bangkok), Hertoto Eko (Singapura), Steven Sitongan (Ambon), dan saya sendiri host podcast "Coming Home with Leila Chudori" di Jakarta.

Kami setuju, bagaimanapun sebuah kota (kecil atau besar) yang baik dan beradab adalah kota yang penduduknya memiliki dan akrab dengan perpustakaan, museum, dan toko buku.

Kami yang begitu mencintai buku sebagaimana halnya mencintai kehidupan lantas bersepakat membuat sebuah edisi khusus kolaborasi antara kedua podcast kami dengan tema "Mengapa Kami (atau mungkin tepatnya: Kita) Masih Membutuhkan Toko Buku."

Kami sama-sama mengenang bahwa toko buku adalah sesuatu yang penting sejak masa kecil kami. Saya sendiri di tahun 1970-an hampir setiap bulan mampir di toko buku Gung Agung, Gunung Mulia dan sebuah toko kecil yang menyediakan komik wayang yakni Green Shop di Kawasan Roxi.

Toko buku kecil di masa itu memang harus ada karena merekalah yang menyediakan buku-buku komik yang jarang tersedia di toko buku besar.

Hertoto Eko mengingat toko buku Al Amin di Kramat Jati karena "yang melayani mempunyai pendekatan personal, dia tahu apa yang dijual dan ingat setiap pembeli," kata Hertoto. Lebih menarik lagi, "Toko buku kecil semacam ini menyediakan sampul."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com