Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Perempuan, Cengkih, dan Erni Aladjai

Kompas.com - 26/05/2021, 07:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAGI sebagian pembaca Indonesia, nama Erni Aladjai mungkin sebuah kosa kata baru. Mungkin.

Bisa saja nama-nama sastrawan Sulawesi macam Aan Mansyur dan Faisal Oddang jauh lebih dikenal hingga berkibar-kibar di halaman pertama harian Kompas, meski Erni sebetulnya sudah cukup lama menulis di berbagai media dan menerbitkan buku.

Sayangnya, Erni adalah seorang penulis yang underrated, yang kurang diperhatikan, meski karyanya sangat bersinar-sinar.

Karya-karyanya sudah lama harus ditarik dan didorong ke barisan depan dan dijadikan kosa kata sastra Indonesia.

Novelnya berjudul "Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga" (Kepustakaan Populer Gramedia, 2021) adalah pemenang ke-3 Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta ketika masih berbentuk naskah awal.

Kini naskah itu sudah mengalami perombakan dan penyuntingan yang ketat dan menjelma menjadi novel bercahaya dan sudah selayaknya dirayakan.

Erni memulai novel ini dengan setting tahun 1950 di desa fiktif Kon, nun di timur Indonesia, ketika tubuh "Markeba Tikore ditemukan tergantung dengan lilitan kain di pohon cengkih."

Cengkih, seperti diutarakaan Lily Yulianti Farid, penulis dan peneliti Monash Indigenous Studies Centre di Monash University, di dalam novel ini bukan sebuah eksotisme. Di bagian timur Indonesia, cengkih adalah lambang kehidupan.

Erni Aladjai dengan cerdas sesekali mengisahkan nilai cengkih di jaman Belanda dengan kilas balik dan bagaimana cengkih menjadi sesuatu yang penting bagi tokoh utama Haniyah, Ala, dan seluruh petani di Desa Kon.

Tak heran jika cengkih bukan saja menjadi sumber mata pencaharian warga Kon, tetapi juga menjadi lambang pencarian Ala tentang masa lalu desanya.

Kelak, si kecil Ala akan selalu menantikan aroma yang datang dari tubuh "anak lelaki berbau cengkih".

Anak lelaki bernama Ido itu bertindak seperti pendongeng macam tokoh Sherazat dalam Dongeng 1001 malam yang perlahan mengungkap tentang asal-usul dirinya yang sekaligus merupakan bagian dari sejarah Kampung Kon yang penuh misteri.

Erni juga memperkenalkan berbagai tokoh di dalam desa, sang guru Hijma yang membiarkan murid-muridnya merundung Ala karena mata yang juling; atau beberapa kisah tentang kekerasan, atau kisah sepasang suami istri yang ditembak mati dan bayi mereka di antara tumpukan cengkih tetap hidup.

Menurut Lily Yulianti Farid, di antara semua kisah itu, tentu saja Haniyah paling menarik karena sangat menggambarkan pandangan penulisnya.

"Tokoh Haniyah adalah seseorang yang percaya bahwa setiap benda mati tidak pernah mati,” kata Lily mengutip dialog Haniyah pada anaknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com