Jakarta, Kompas -
Demikian disampaikan Guru Besar Antropologi Universitas Indonesia Prof Yasmine Zaki Shahab di sela-sela acara Betawi Punye Gaye, Kamis (19/4) malam. Acara yang digelar di Gedung Bentara Budaya, Jalan Palmerah Selatan 25, Jakarta, ini diselenggarakan oleh Forum Kajian
”Kemampuan budaya Betawi menjadi melting pot membuat jargon ’Jakarta untuk semua’ mudah membumi,” tutur Yasmine. Melting pot, lanjutnya, berbeda dengan proses inkulturasi (penyesuaian budaya pendatang terhadap budaya setempat) atau akulturasi (pembentukan budaya baru dari pertemuan antarbudaya).
”Bahasa sederhana melting pot adalah hidup berdampingan secara damai dengan tradisi dan kebudayaan yang berbeda antara komunitas satu dan yang lain. Jakarta hanya bisa menjadi melting pot bila warganya menghargai dan ikut memelihara budaya Betawi yang multikultur,” tutur Yasmine.
Acara Betawi Punye Gaye dimeriahkan pertunjukan Harry’s Palmer Orchestra, marawis, rebana hadroh, dan tradisi Palang Pintu. Selain itu, disajikan pula aneka jajan pasar dan makanan tradisional, busana, serta perhiasan Betawi koleksi Emma Amalia Agus Bisri.
Hari Rabu (25/4) pukul 13.30 hingga pukul 17.00, acara Betawi Punye Gaye akan diisi diskusi tentang kebudayaan Betawi. Tampil sebagai pembicara, Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ukus Kuswara,
Prof Yasmine, serta peneliti kebudayaan Betawi dan peranakan Indonesia David Kwa.
Hari Kamis (26/4) pukul 19.00 hingga pukul 22.00 akan dipentaskan wayang Betawi ”Gatotkaca Kembar” dengan dalang Ki Sukar Pulung.