Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Escape 0.1, Puing Tembok Wabah dari Kampung Sawah Jakarta

Kompas.com - 31/10/2021, 20:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Bambang Asrini Widjanarko*

DUA seniman, yaitu arsitek Budi Pradono dan seniman stensil Farhan Siki, bersepakat blusukan ke kampung yang padat dan heterogen di Jakarta.

Di sana, mereka membangun tembok, mecoret-coretinya dengan teks dan imej-imej pun menghancurkannya sekaligus.

Membawa puing-puingnya ke sebuah hotel mewah, memamerkan seraya meggedor benak kesadaran: kapankah “tembok wabah” berakhir atau takkan pernah sirna selamanya?

Juluk karya instalasi itu Escape 0.1, sebuah fenomena pun nomena, peristiwa dan objek-objek tentang “lautan pelarian kejiwaan ekspresi warga”, baik yang materiil dan immaterial.

Itu semuanya, simbolisasi kesia-siaan yang mungkin sempat ada? Virus menghampiri sepanjang waktu, dua tahun berselang sejak pandemi merebak.

Baca juga: Njlimet, Pameran Seni Rupa Bertema Rumitnya Masa Pandemi

Kampung-kampung yang tereksklusi, artefak-artefak berserakan atas tanda-tanda kota kosmopolit yang pengap pun jumawa, bertaburan dan bersilang-sengkarut menelikung kita sehari-hari.

Kampung Sawah, di Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan adalah kampung padat, pengap, sekaligus banjir mengintai tiap tahun. Situs tempat dua seniman memilih membangun tembok ingatan tentang warga yang kurang beruntung.

Lokasinya berjejer langsung dengan hiruk-pikuk penanda kota yang sukses. Yakni, beberapa ratus meter di dekat kompleks segitiga emas Sudirman Central Business District (SCBD).

Kampung yang “terancam” Kali Krukut ini, masyarakatnya bak “nelayan” tatkala musim hujan. Air meluber dan menggenangi pemukiman warga yang berprofesi pekerja informal, yang niscaya menjadi sistem dukungan kelangsungan kapitalisme kota semegah Jakarta ini.

Kampung sawah adalah paras kita semua, setidaknya bertetangga dalam ingatan komunal. Paras entitas fisik dan jiwa, manusia-manusia “yang melata dan kalah” di Jakarta.

Sementara, menurut Farhan Siki dan Budi Pradono, warga kampung itu dipaksa memakai masker, cuci tangan dan mengurung diri di rumah. Sebagai apa yang diniatkan sejak mula, dalam wawancara dengan penulis.

“Ini seperti representasi dari 'komunisme baru', yang dilontarkan oleh Zizek dalam bukunya awal 2020 lalu, Panic Pandemi tentang keniscayaan kuasa kontrol dan kepatuhan warga," kata Budi Pradono.

Baca juga: Pameran Seni dan Budaya di Hong Kong Bisa Dinikmati dari Rumah, Ini Caranya

Detil dari puing-puing dengan skala diperbesar. Dok BPA Studio Detil dari puing-puing dengan skala diperbesar.

"Dekonstruksi tatanan dan rekonstruksi dibangun kembali, menyebabkan warga Kampung Sawah sejatinya paling tangguh dan sangat cepat beradaptasi. Dibanding sejumlah perumahan warga di gated communities yang mengalami tekanan kejiwaan berkepanjangan,” lanjut Budi Pradono.

Sebagai ilustrasi atas wawancara kedua seniman, mereka mengobservasi kampung tersebut serta mendokumentasi peristiwa-peristiwa bahwa meski pembatasan mobilitas dan aksesibilitas warga dalam aturan protokol kesehatan, ternyata warga kampung ini merespons positif.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau