Oleh: Bambang Asrini Widjanarko*
DUA seniman, yaitu arsitek Budi Pradono dan seniman stensil Farhan Siki, bersepakat blusukan ke kampung yang padat dan heterogen di Jakarta.
Di sana, mereka membangun tembok, mecoret-coretinya dengan teks dan imej-imej pun menghancurkannya sekaligus.
Membawa puing-puingnya ke sebuah hotel mewah, memamerkan seraya meggedor benak kesadaran: kapankah “tembok wabah” berakhir atau takkan pernah sirna selamanya?
Juluk karya instalasi itu Escape 0.1, sebuah fenomena pun nomena, peristiwa dan objek-objek tentang “lautan pelarian kejiwaan ekspresi warga”, baik yang materiil dan immaterial.
Itu semuanya, simbolisasi kesia-siaan yang mungkin sempat ada? Virus menghampiri sepanjang waktu, dua tahun berselang sejak pandemi merebak.
Baca juga: Njlimet, Pameran Seni Rupa Bertema Rumitnya Masa Pandemi
Kampung-kampung yang tereksklusi, artefak-artefak berserakan atas tanda-tanda kota kosmopolit yang pengap pun jumawa, bertaburan dan bersilang-sengkarut menelikung kita sehari-hari.
Kampung Sawah, di Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan adalah kampung padat, pengap, sekaligus banjir mengintai tiap tahun. Situs tempat dua seniman memilih membangun tembok ingatan tentang warga yang kurang beruntung.
Lokasinya berjejer langsung dengan hiruk-pikuk penanda kota yang sukses. Yakni, beberapa ratus meter di dekat kompleks segitiga emas Sudirman Central Business District (SCBD).
Kampung yang “terancam” Kali Krukut ini, masyarakatnya bak “nelayan” tatkala musim hujan. Air meluber dan menggenangi pemukiman warga yang berprofesi pekerja informal, yang niscaya menjadi sistem dukungan kelangsungan kapitalisme kota semegah Jakarta ini.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.