Oleh: Jaya Suprana*
JAUH sebelum musim warga keturunan Tionghoa ganti nama pada masa Orde Baru, ayah saya pada masa Orde Lama sudah mengganti nama berdasar sepucuk surat izin yang ditandatangani langsung oleh Bung Karno sebagai presiden pertama Republik Indonesia.
Ayah saya yang semula bernama Poa Bing Lam menulis surat permohonan kepada Bung Karno untuk mengganti namanya menjadi Lambang Suprana.
Alasan ayah saya ganti nama bukan karena merasa diperlakukan diskriminatif berdasarkan ras, namun karena sebagai warga Indonesia merasa lebih nyaman menyandang nama Indonesia ketimbang nama Tionghoa atau berbau China.
Baca juga: Imlek, Mark Zuckerberg Umumkan Nama China Anaknya
Alasan ayah saya jelas subjektif, maka tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Namun, ternyata Presiden Soekarno mengabulkan permohonan ayah saya secara tertulis, lengkap dengan tanda tangan beliau.
Saya sendiri pada masa itu masih kanak-kanak maka belum mengikuti jejak ayah saya, apalagi ayah saya tidak memaksa saya mengikuti jejak beliau ganti nama.
Namun, setelah tiba masa Orba dan ternyata banyak warga keturunan Tionghoa mengikuti jejak ayah saya mengganti nama, maka saya yang pada masa itu sedang belajar dan mengajar di Jerman melalui KBRI di Jerman, secara sukarela mengganti nama saya dari Poa Kok Tjiang menjadi Jaya Suprana.
Sekitar setengah abad kemudian, di Amerika Serikat mendadak Mark Zuckerberg bukan mengganti nama dirinya sendiri namun nama perusahaan tersohornya, dari Facebook menjadi Meta dengan logo lambang infinitas alias ketak-terhinggaan.
Nama Meta berakar pada metaverse sebagai pengembangan futuristik istilah universe. Pada hakikatnya, metaverse adalah istilah terbaru terkeren sementara ini bagi alam semesta.
Baca juga: Mengenal Meta, Perusahaan Baru Facebook, Instagram, dan WhatsApp
Zuckerberg menjelaskan perubahan nama sebagai upaya rebranding perusahaan Facebook yang sedang menuai kecaman keras di sejumlah negara terkait isu pelanggaran di dalam pelayanannya.
Selain itu, Zuckerberg juga memberikan penjelasan soal alasan perubahan nama dari segi bisnis. Zuckerberg menilai bahwa perubahan nama serta logo diharapkan akan membawa keberuntungan bagi perusahaan teknologi itu.
Gagasan awalnya berasal dari rencana Zuckerberg membentuk masa depan internet yang lebih gilang-gemilang. Zuckerberg meyakini metaverse akan menjadi platform pengalaman sosial masa depan.
Zuckerberg merasa bahwa Facebook memang wajib mengubah citra sebagai perusahaan media sosial yang selama ini sudah terbangun akibat terasa sudah kurang selaras dengan masa depan.
Ia ingin agar masyarakat lebih mengenal perusahaan Meta sebagai bukan terbatas perusahaan medsos belaka namun raksasa teknologi.
Baca juga: Facebook Ganti Nama Jadi Meta, Bagaimana Nasib WhatsApp dan Instagram?
William Shakespeare sempat mempertanyakan arti sebuah nama dengan pertanyaan “What is a name?”
Gegara Romeo dan Julia masing-masing menyandang nama keluarga yang saling bermusuhan di Verona pada sekitar abad XIV dan XV.
Namun, zaman berubah sehingga pada abad XXI ternyata nama memiliki arti luar biasa penting. Misalnya, nama Kennedy merupakan jaminan bagi karier politik, Einstein di sains, Mozart di musik, Ford di industri mobil, sementara nama Hitler merupakan nama yang paling dihindari di Jerman masa kini.
Nama seperti Coca Cola, BMW, MacDonald, Toyota, Pertamina, Garuda, Jamu Jago, memiliki nilai makna tersendiri sebagai jaminan mutu produk.
Maka, dengan mengganti nama Facebook menjadi Meta, Insya Allah Mark Zuckerberg (yang apabila di-Indonesiakan menjadi Bukit Gula), akan membawa perusahaannya ke masa depan yang lebih laris manis ketimbang masa kini apalagi masa lalu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.