Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Leila S Chudori
Penulis & Wartawan

Penulis, Wartawan, Host Podcast "Coming Home with Leila Chudori"

Perkawinan Dini dan Klenik dalam Novel "Damar Kambang"

Kompas.com - 24/02/2021, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

"Kau baru berusia empat tahun, ketika di rumah itu, aku padam secara tak terduga. Padahal, usiaku sudah sepuluh tahun."

DEMIKIAN penulis Muna Masyari memulai ucapan Damar Kambang, sang lilin yang berupaya menerangi kegelapan.

Novel ini tak terlalu tebal, hanya 196 halaman, tetapi memuat begitu banyak persoalan rumit: dari soal kawin paksa, pernikahan anak, pemerkosaan, klenik, adat istiadat, karapan sapi yang semuanya diikat dengan dua kata penting: harkat dan martabat.

Muna membuka novel ini dari sudut batang sebatang lilin yang merupakan lambang perkawinan. Lantas, pada adegan berikutnya, kita langsung digebrak dengan sebuah adegan yang brutal sekaligus memilukan. Seorang lelaki yang kalah taruhan terpana karena si pemenang mengartikan "rumah dan isinya" sekaligus istri.

Adegan bak Drupadi yang dipertaruhkan Yudhistira dalam permainan dadu di dalam Mahabharata ini kemudian disambung berhenti dan bab baru memperkenalkan seorang gadis kecil usia 14 tahun yang sedang bersiap-siap dikawinkan. Berdandan, dan merenung.

Gaya penulisan Muna Masyari menggunakan multipoint of views. Setiap bab, Muna mengubah sudut pandang, dari sang Lilin (yang menjadi judul novel ini), lalu Cebbhing (yang bisa dikatakan protagonis novel ini), lantas berlalih lagi ke calon mertua perempuan Cebbhing; dan pindah lagi ke istri kedua seorang tetua dan seterusnya.

Begitu asyik, sukar untuk menghentikan halaman demi halaman ini karena Muna menyiapkan berbagai kelok dan kejut di setiap tikungan cerita.

Dalam novel ini, kita bukan saja menghadapi kenyataan betapa di banyak desa di Indonesia masih saja ada pernikahan gadis di usia sangat dini--dalam novel ini 14 tahun--tetapi juga bagaimana para lelaki menggunaka klenik untuk mengatasi resistensi, seperti halnya mereka juga menggunakan klenik untuk pembalasan dendam atau menang bertaruh.

Seperti yang diutarakan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Atnike Sigiro dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori", peristiwa pernikahan anak (dini) memang masih banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai alasan: ekonomi, agama ("agar tak berzinah") dan adat istiadat.

"Meski sudah dilakukan gerakan penyadaran tentang berbahayanya menikah di usia sedini itu, selain juga melanggar undang-undang, tetap saja masyarakat menggunakan salah satu dari tiga alasan di atas."

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan batas usia minimal untuk kawin adalah 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan.

Akan tetapi, tampaknya dengan ketiga alasan di atas, pernikahan usia dini masih terus saja berlangsung. Alasan-alasan ini sebetulnya sebuah peneguhan sikap patriarkis di dalam sebagian masyarakat Indonesia yang lebih memperlakukan perempuan sebagai properti.

Dalam novel ini, misalnya, para perempuan, masih gadis kecil atau dewasa atau istri, senantiasa mengalami kekerasan seksual dengan berbagai cara. Ada yang dengan menggunakan klenik--dalam novel ini disebutnya "angin kiriman"--ada pula yang memerkosa langsung.

Kekerasan demi kekerasan ini kemudian menjadi semakin sulit didefinisikan ketika anak-anak gadis itu tergambarkan tak keberatan menikah karena pada beberapa babak dan adegan, tokoh Cebbhing digambarkan "terdorong" untuk pergi diam-diam menyambangi Kacong, calon suaminya.

Yang lebih parah, karena memang sudah melekat sedemikian lama,maka begitu banyak perempuan (dewasa) dalam jagat novel ini yang sudah "dipaksa" selaras dengan misoginis lelaki.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau