"Kau baru berusia empat tahun, ketika di rumah itu, aku padam secara tak terduga. Padahal, usiaku sudah sepuluh tahun."
DEMIKIAN penulis Muna Masyari memulai ucapan Damar Kambang, sang lilin yang berupaya menerangi kegelapan.
Novel ini tak terlalu tebal, hanya 196 halaman, tetapi memuat begitu banyak persoalan rumit: dari soal kawin paksa, pernikahan anak, pemerkosaan, klenik, adat istiadat, karapan sapi yang semuanya diikat dengan dua kata penting: harkat dan martabat.
Muna membuka novel ini dari sudut batang sebatang lilin yang merupakan lambang perkawinan. Lantas, pada adegan berikutnya, kita langsung digebrak dengan sebuah adegan yang brutal sekaligus memilukan. Seorang lelaki yang kalah taruhan terpana karena si pemenang mengartikan "rumah dan isinya" sekaligus istri.
Adegan bak Drupadi yang dipertaruhkan Yudhistira dalam permainan dadu di dalam Mahabharata ini kemudian disambung berhenti dan bab baru memperkenalkan seorang gadis kecil usia 14 tahun yang sedang bersiap-siap dikawinkan. Berdandan, dan merenung.
Gaya penulisan Muna Masyari menggunakan multipoint of views. Setiap bab, Muna mengubah sudut pandang, dari sang Lilin (yang menjadi judul novel ini), lalu Cebbhing (yang bisa dikatakan protagonis novel ini), lantas berlalih lagi ke calon mertua perempuan Cebbhing; dan pindah lagi ke istri kedua seorang tetua dan seterusnya.
Begitu asyik, sukar untuk menghentikan halaman demi halaman ini karena Muna menyiapkan berbagai kelok dan kejut di setiap tikungan cerita.
Dalam novel ini, kita bukan saja menghadapi kenyataan betapa di banyak desa di Indonesia masih saja ada pernikahan gadis di usia sangat dini--dalam novel ini 14 tahun--tetapi juga bagaimana para lelaki menggunaka klenik untuk mengatasi resistensi, seperti halnya mereka juga menggunakan klenik untuk pembalasan dendam atau menang bertaruh.
Seperti yang diutarakan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan Atnike Sigiro dalam podcast "Coming Home with Leila Chudori", peristiwa pernikahan anak (dini) memang masih banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai alasan: ekonomi, agama ("agar tak berzinah") dan adat istiadat.
"Meski sudah dilakukan gerakan penyadaran tentang berbahayanya menikah di usia sedini itu, selain juga melanggar undang-undang, tetap saja masyarakat menggunakan salah satu dari tiga alasan di atas."
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.