Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memahami Rasa dalam Fotografi

Kompas.com - 12/02/2013, 02:41 WIB

ARBAIN RAMBEY

Sebuah foto terbentuk dari banyak elemen, yaitu teknik, posisi, komposisi, momen, dan rasa. Teknik adalah masalah ketajaman, akurasi pencahayaan (tidak overexposure dan tidak underexposure), akurasi warna, dan hal lain yang sekarang bisa diotomatiskan.

Posisi (juga menyangkut sudut pemotretan) adalah masalah di mana sang fotografer memotret. Salah posisi bisa mengakibatkan foto menjadi buruk, misalnya terlalu jauh, terlalu dekat, atau bahkan tertutup beberapa benda. Komposisi adalah masalah bagaimana sang fotografer mengatur aneka benda yang dipotretnya di dalam bingkai fotonya. Pemandangan yang indah bisa tampil buruk dalam foto kalau komposisinya berantakan, misalnya pohon terpotong dan danau miring.

Sementara momen adalah masalah kapan sang fotografer menekan tombol rana. Terlalu cepat atau terlalu lambat akan menghasilkan foto yang tidak bagus, misalnya orang yang dipotret pas memejamkan mata dan memotret serangga, tetapi sang serangga telanjur terbang. Pemandangan alam di daerah tropis terbaik dipotret pada pagi hari sehingga kalau dipotret tepat pukul 12 siang umumnya menghasilkan foto yang tidak indah.

Elemen teknis merupakan satu-satunya elemen fotografi yang bisa otomatis. Posisi, komposisi, dan momen sampai kapan pun tidak bisa dibuat otomatis. Jadi, sebenarnya tak perlu meributkan soal otomatis atau manual dalam fotografi karena soal otomatis itu hanya masalah yang sangat sepele. Masih banyak soal penting yang tidak bisa otomatis, yaitu posisi, komposisi, dan momen.

Namun, ada satu elemen lagi yang membuat sebuah foto menjadi bagus atau tidak, yaitu masalah rasa. Masalah rasa adalah masalah tertinggi dalam fotografi sehingga jam terbang, bakat, dan pengalaman sangat memengaruhi. Masalah rasa sangat berperan dalam fotografi jurnalistik karena fotografi tipe ini menyampaikan informasi yang kadang harus dengan pemisalan-pemisalan.

Contoh pertama soal rasa adalah foto patung Pangeran Diponegoro di Magelang. Ada dua foto patung Pangeran Diponegoro karya Satrio Nusantoro ini. Foto yang di atas memberi kesan kalau Pangeran Diponegoro ”mengusir” seorang yang kesannya tunawisma (dari pakaian dan dari penampilannya). Sementara pada foto kedua, kesan yang muncul adalah Pangeran Diponegoro membimbing mahasiswa (lagi-lagi kesan ini muncul dari pakaian dan sikap) menuju sebuah masa depan.

Contoh pertama tadi mungkin masih samar-samar. Kini perhatikan foto karya Agus Susanto tentang musibah tsunami di Aceh tahun 2004. Foto itu dibuat menjadi hitam putih agar tidak memberi kesan sangat mengerikan. Walau foto itu sudah mengerikan, konversi ke hitam putih membuat rasa foto itu lebih lunak sehingga lebih informatif. Realitas yang terlalu pekat pada foto jenazah membuat banyak orang akan memalingkan muka saat melihat foto tersebut, padahal informasi bahwa korban sangat banyak perlu juga ditampilkan secara visual.

Namun, foto Antonio Banderas menempelkan wajah ke kamera seorang fotografer jelas merupakan foto yang punya rasa jelas: ini foto human interest yang lucu, humoris.

Mari kita masuk ke bidang politik dengan dua buah foto. Foto Presiden SBY dengan latar belakang wajah (mantan) Presiden Megawati karya almarhum Julian Sihombing ini adalah foto yang banyak memancing komentar saat dimuat harian Kompas tahun 2004. ”Apa maksud foto ini?” begitu umumnya pertanyaan yang hadir ke redaksi Kompas, baik lewat telepon maupun surat. Dan, rasa penasaran pembaca (tanpa perlu dijawab) adalah hal yang membuat sebuah foto menjadi menarik atau tidak, kuat atau tidak, dan sebagainya.

Terakhir, foto tiga bendera pada Pemilu 1997 tidak jadi dimuat Kompas karena bisa multitafsir. Kalau dimuat, pembaca akan mengira bahwa Kompas pro-PDI, tetapi anti-PPP dan Golkar. Coba tafsirkan sendiri!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com