Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reformasi Setelah 15 Tahun

Kompas.com - 25/08/2013, 14:02 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Tahun 1998, negeri ini bergolak. Mahasiswa meneriakkan sumpah bertanah air satu, tanah air yang bebas dari penindasan Orde Baru, di depan moncong senapan tentara yang merenggut nyawa teman mereka. Gelombang demonstrasi berdarah itu mengantar Indonesia ke Orde Reformasi. Setelah 15 tahun, apa yang sudah dicapai negeri ini?

Indonesia Raya berkumandang dengan latar layar gelap hingga lantunan lagu kebangsaan itu berakhir. Begitulah, film Setelah 15 Tahun dibuka dengan kesempatan untuk merenungi Indonesia. Selama sekitar 90 menit berikutnya, sutradara Tino Saroengallo mengajak penonton berziarah kembali ke saat-saat gelombang demonstrasi membanjiri jalanan beberapa kota di Indonesia, terutama Jakarta, pada Mei hingga November 1998.

Salah satu momentum paling menyentuh yang dibuat Tino dalam film dokumenter ini adalah ketika tayangan media tentang ketegangan demonstrasi yang merenggut korban jiwa ditayangkan tanpa suara asli, diganti dengan lantunan lagu "Tanah Air" karya Ibu Soed.

"Tanah air-ku tidak kulupakan/Kan terkenang selama hidupku/Biarpun saya pergi jauh/Tidakkan hilang dari kalbu/Tanahku yang kucintai/Engkau kuhargai..."

Sampai di situ, Tino yang juga menulis naskah film ini memberi fondasi yang cukup pada penonton untuk bertanya, kini, 15 tahun reformasi digulirkan, apa yang sudah dicapai negeri ini?

Pesimistis
Berikutnya, film ini menyuguhkan rangkaian komentar mulai dari para mantan aktivis 1998, dosen, pengamat politik, pengamat ekonomi, ibu dari mahasiswa yang menjadi korban pada tahun 1998, hingga rohaniwan. Semua tanpa disebutkan identitas mereka. Hampir semua bernada pesimistis.

Beberapa pesan digarisbawahi, antara lain reformasi tak membuahkan apa pun, kecuali kebebasan bersuara dan berpolitik. Masalahnya, orang bebas menyuarakan pendapat, tetapi seolah tak ada yang mendengar. Berbagai aspek kehidupan bangsa yang pada tahun 1998 dituntut rakyat untuk diperbaiki hampir tak berubah signifikan.

Korupsi hari ini makin merajalela. Pemilihan umum hanya mengantar pejabat dan wakil-wakil rakyat baru yang sama korup dengan pendahulu mereka. Penegakan hukum masih kerap hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Konflik horizontal makin tajam karena negara kerap tidak hadir saat dibutuhkan. Di sisi lain, liberalisasi ekonomi makin menguatkan semangat individualisme.

Tino tampaknya tidak berusaha membuat rangkaian opini itu datang dari dua sisi yang berimbang. Aktivis 1998 yang kini bergabung dalam pemerintahan atau parlemen, misalnya, sama sekali tak mendapat tempat.

Setelah rangkaian kompilasi opini pesimistis, Tino berusaha menyisipkan harapan—juga melalui kutipan opini—tetapi tak cukup untuk menjelaskan situasi yang masih berpotensi memberikan harapan.

Secara visual, kemasan dokumenter ini akan lebih nyaman ditonton dan dicerna jika rangkaian wawancara lebih banyak terbantu ilustrasi situasi. (DAY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com