”Naik jip ke sana aja empat jam. Belum naiknya. Orang Buddha itu selalu membangun biara di atas gunung. Semakin tinggi, semakin dekat dengan Tuhan. Itu pertama kali dalam sejarah trekking-ku bisa naik setinggi itu,” kata Tamara. Banyak hal lucu dia alami, termasuk tidak bisa beli apa pun di sana. ”Bandara internasionalnya ternyata di Paro, sedangkan nama ibu kotanya Thimphu. Aku juga baru tahu di sana. Begitu sampai di Paro, tidak ada sinyal telepon genggam,” kata Tamara. Tidak cuma itu ”penderitaannya” karena ia terbiasa menggesek kartu kredit dan mengambil uang di ATM, maka ia hanya membawa uang 100 dollar AS. ”Ternyata kartu kredit dan ATM enggak bisa dipakai. Uangku ditukar cuma dapat 4.500 nungtrum. Akhirnya aku menginap di backpacker hostel yang sekamar isinya 18 tempat tidur. Cuma bayar 2 dollar AS per orang. Untung aja low season, jadi 16 tempat tidur lainnya kosong. Tapi, malam Tahun Baru, enggak ada air. He-he-he,” kata Tamara. (LOK)