Kemenangan aktor Inggris Colin Firth dan Natalie Portman di ajang penghargaan Oscar 2011 bukan lagi kejutan. Akting keduanya begitu prima dalam The King’s Speech dan Black Swan.
Tentu saja ini merupakan puncak dari puluhan tahun kerja keras Colin Firth sejak ia memutuskan meninggalkan dunia sekolah dan menekuni akting pada usia 18 tahun. Gemblengan yang paling keras diperolehnya dari dunia teater.
Firth memulainya dari level yang paling bawah, sebagai pemeran figuran, penyaji minuman, sampai penerima telepon. Namun, di dunia teater itulah matanya terbuka. Ia memiliki akses untuk mengetahui rumor yang beredar di kalangan teater sampai di mana ada lowongan pekerjaan. Dari sini ia menyadari, untuk menjadi aktor panggung yang baik, ia harus mengasah dirinya lewat pendidikan.
Di London Drama Centre, Firth belajar akting enam hari seminggu selama tiga tahun. Kegigihannya itu tak sia-sia. Tawaran sebagai pemeran utama untuk drama besar, seperti Hamlet dan King Lear, kemudian mengalir. Ia menjadi salah satu pemain teater berbakat di Inggris.
Kelenturan Firth dalam menyerap rasa frustrasi akibat gagap, sehingga ia seperti gagap ”betulan” di film The King’s Speech, didukung oleh proses belajarnya dalam mengatasi demam panggung di dunia teater.
”Bahkan, saat terakhir kali tampil di panggung pun, aku mengalami rasa takut yang luar biasa. Sampai-sampai tidak bisa mengingat dialog yang harus kuucapkan. Itu adalah malam pembukaan dan ada monolog sepanjang dua lembar yang harus kuhafalkan. Saking paniknya, aku mengunci diri di kamar mandi, kemudian menyendiri di luar gedung untuk menghirup udara segar. Lima menit sebelum acara dimulai, aku malah terkunci di luar gedung. Akhirnya, aku terpaksa masuk dari arah penonton. Merekalah yang paling aku takuti. Ternyata setelah sampai di panggung, semuanya baik- baik saja,” kata Firth kepada Sunday Times.
Saat-saat menegangkan seperti itu bukan hanya dialaminya sewaktu harus bermonolog di panggung, tetapi kadang juga ketika harus melakukan konferensi pers sampai memberi sambutan.
”Menurut saya, seseorang yang mendadak hilang kelancaran berbicaranya tak ada kaitan dengan kemampuannya menyusun kalimat. Para penulis hebat pun kadang sangat buruk ketika harus berpidato,” ujar Firth kepada BBC News.
Itu sebabnya ia sangat tersentuh dengan biografi Raja George VI. Karena di balik kekurangannya, George VI adalah pribadi yang luar biasa.
”Seandainya saja Anda bisa membaca apa yang ia tulis, Anda akan tahu bahwa ia adalah pria dengan karakter elegan dan halus. Sungguh ironis jika ia dihakimi sebagai tokoh yang membosankan hanya karena ia tak mampu mengekspresikan dengan baik pemikirannya,” kata Firth.