Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Musik Cadas Tak Harus Beringas

Kompas.com - 25/05/2012, 08:29 WIB

JAKARATA, KOMPAS.com -- Buat pendengar musik rock dan metal, tak puas rasanya kalau menonton langsung aksi band idola tetapi tidak ”moshing” atau saling menabrakkan badan ke orang lain. Jangan khawatir, itu hanya aksi sesaat untuk menikmati gempuran musik energi tinggi, bukan kerusuhan.

Pekan lalu, Bandung baru saja dientakkan oleh pergelaran musik cadas Bandung Berisik MMXII di Lapangan Udara Sulaiman. Selama dua hari berturut-turut, sekitar 20.000 penonton disuguhi aksi cadas band-band metal semacam Burgerkill, Mesin Tempur, Something Wrong, dan Rajasinga.

Aksi band-band yang bagi sebagian orang bergaya nyanyi ”seperti orang marah” itu justru berlangsung lancar. Anak muda yang memenuhi area depan panggung boleh bersenggolan, bertubrukan, dan bernyanyi bersama. Tetapi, mereka tak baku hantam. Ancaman keamanan baru terlihat setiap ada copet yang tertangkap. He-he-he.

Suasana aman tenteram seperti itu tidak hanya terjadi pada Bandung Berisik pekan lalu. Acara berjudul sama yang diadakan tahun sebelumnya pun berjalan asyik tanpa ricuh. Di kota lain, seperti Solo, Jawa Tengah, lewat acara Rock In Solo yang menampilkan band dari AS Death Angel juga berlangsung tertib. Begitu juga dengan Hammersonic di Jakarta.

Ajaibnya, pertunjukan di lapangan terbuka yang menampilkan band pop, baik yang agak ngerock, ”metal—melayu total” maupun yang menye-menye total justru biasanya diwarnai dengan keributan antarpenonton. Tak jarang polisi sampai harus menghentikan pentas.

Lapangan Merdeka, Kota Sukabumi, Jabar, misalnya, sering dipakai untuk mementaskan aksi band-band ternama seperti Gigi, Sheila on 7, Ungu, dan Wali. Pentas-pentas itu biasanya digelar Sabtu sore tanpa tiket alias gratis. Tetapi biasanya, sore di akhir pekan seperti itu menyisakan kerja ekstra bagi polisi untuk melerai remaja yang berkelahi di depan panggung saat band sedang tampil.

Padahal, secara kasat mata, penampilan penonton yang datang ke acara metal lebih sangar. Rambut gondrong, kaus bergambar tengkorak atau mayat hidup, dan kalimat pada kaus menyiratkan kebencian adalah atribut umum. Tetapi, saat band favorit tampil, mereka justru terlihat kompak.

Stigma

Meski demikian, bukan berarti pertunjukan musik cadas di Indonesia benar-benar bersih dari kerusuhan. Film dokumenter Global Metal (2008) besutan antropolog Sam Dunn memaparkan keributan di sekitar Stadion Lebak Bulus saat Metallica tampil pada 1991.

Sejarah kelam musik metal juga kembali terjadi pada 2008 di Bandung. Saat itu, sebelas metal heads kehabisan napas saat berdesak-desakan di pintu keluar gedung Asia Afrika Culture Center pada konser peluncuran album perdana band Beside. Tetapi, band ini cepat berbenah. Pada konser-konser mereka berikutnya, mereka mengatur alur pintu masuk dan keluar, serta mewajibkan adanya mobil pemadam kebakaran dan ambulans.

Stigma negatif sebagai biang kerok keributan pun melekat. Bukan cuma itu, simbol-simbol yang tersirat dalam lirik lagu pun jadi alasan buat aparat untuk memperketat izin pertunjukan musik cadas.

Addy Gembel, vokalis band Forgotten, pernah mengisahkan betapa sulitnya mendapat izin dari polisi. ”Alasannya, mereka khawatir bakal ada keributan lagi. Izin semakin sulit kalau panitia mengundang Forgotten. Supaya bisa tetap main, kami diminta untuk tidak memainkan lagu tertentu,” kata Addy, yang juga sudah menghasilkan novel ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com