JAKARTA, KOMPAS.com -- NOAH, Payung Teduh, Angsa dan Serigala, Coboy Junior, Calvin Jeremy, dan Raisa diperkirakan oleh beberapa pemerhati musik Indonesia akan makin melejit melebihi artis-artis musik lain pada 2013.
NOAH, yang lahir dengan nama Peterpan tahun 2000, tahun lalu menggelar tur ke Melbourne, Hong Kong, Kuala Lumpur, Singapura dan Jakarta. Tur maraton dalam tempo hanya satu hari ini dimaksudkan sebagai salam pemuka setelah sepanjang dua tahun band ini vakum akibat hukuman penjara yang harus dijalani oleh vokalisnya, Nazriel Irham alias Ariel, akibat kasus video mesum.
"Tahun 2005 NOAH, waktu itu namanya Peterpan, adalah satu dari dua band papan atas Indonesia, pesaingnya Jamrud. Angka penjualan Peterpan untuk album Bintang di Surga 2,5 juta keping," kata pengamat musik Bens Leo saat diwawancara untuk Info Musika, program musik BBC Indonesia.
Peterpan sukses bukan cuma karena keberhasilan menjual album studio, kata Bens, tetapi juga kemampuan beraksi di panggung. Kemampuan terakhir ini kemudian tidak banyak muncul akibat maraknya pemasaran musik dengan format super mini nada dering telepon genggam (ring back tone). "Tahun 2005 itu sebenarnya awal sekaligus akhir kekuatan band rekaman sekaligus band panggung yang baik," tambah Bens.
NOAH juga dijagokan oleh Bhita Harwantari, yang selama tujuh tahun bekerja sebagai direktur musik untuk siaran I-Radio di Jakarta. Di radio yang khusus memutar musik karya artis Indonesia ini Bhita melihat NOAH bukan cuma sukses mengembalikan basis fans lama setelah Ariel keluar penjara, melainkan juga menjaring massa lebih luas, termasuk kelompok yang selama ini diasosiakan dengan "selera tinggi" kelas menengah-atas.
"Mereka ini yang digambarkan menggunakan smartphone, dekat dengan social media, rajin nge-tag, dengan bangga posting foto mereka beli album Noah di gerai KFC," kata Bhita.
Album Seperti Seharusnya, yang dirilis pada September 2012--kurang dari dua bulan setelah Ariel bebas bersyarat pada Juli 2012--terjual langsung lebih dari 750 ribu keping dalam tempo kurang dari tiga bulan. "Ini fenomena bagus. Kalau dulu artis atau band diasosiasikan dengan kelas (pendengar radio) A-B-C-D, NOAH sepertinya mampu menjaring semuanya," tambah Bhita.
Payung Teduh
Tetapi tidak semua pengamat memilih NOAH. Denny Sakrie memandang kesuksesan NOAH ditunjang dengan keleluasaan meniru karya pemusik-pemusik lain yang menurutnya sangat menurunkan kredibilitas NOAH.
"Lagu 'Separuh Aku' itu, sorry to say, sangat terasa TOTO-nya, band Amerika. Terus entah kenapa juga mengambil intro dari karya (pemusik) Yanni," ulas Denny.
Di tengah era industri yang hanya mau membebek seperti K-Pop dan R&B ala Amerika, menurut Denny, sangat penting bagi artis musik Indonesia punya nilai orisinalitas. "Jadi begitu dengar orang tahu, 'Oh, ini Indonesia banget.' Itu yang jarang ada," tukas penulis musik kawakan ini.
Untuk mereka yang menggemari musikalitas orisinal, Denny menjagokan Payung Teduh pada 2013. "Mereka menggunakan kemasan musik akustik dengan mencampurkan pop dengan sedikit nuansa keroncong, lirik lagu layaknya lagu Indonesia era dulu."
Lirik menurut Denny berperan penting dalam karakter musik karena lirik lagu Indonesia beberapa tahun ini "hancur karena tata bahasa yang semrawut" di tangan sejumlah artis musik.
Payung Teduh baru dibentuk pada 2010 dan sudah langsung menyabet penghargaan Tokoh Seni Majalah Tempo untuk kategori musik dengan album Dunia Batas. Beberapa lagu dari album ini, termasuk "Tidurlah", "Angin Pujaan Hujan", dan "Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan", dibuat pula format klip videonya dan dapat ditonton di YouTube.
Seorang penonton menyebut mendengar kelompok ini bermusik, "Seperti belaian angin segar kala panas terik."
Dalam kategori alternatif pula, Bhita Harwantari menyebut Angsa dan Serigala, yang beranggota tujuh orang dan baru melepas satu album pada 2011. Beberapa video musik mereka digarap serius untuk konsumsi YouTube dan menyedot penonton dari ratusan hingga belasan ribu orang per judul.