Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Django untuk Kebiadaban Zaman

Kompas.com - 17/02/2013, 12:52 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- + : "Siapa namamu?"
- : "Django."
+ : "Bagaimana mengejanya?"
- : "D-J-A-N-G-O... 'D'-nya tidak diucapkan"
+ : "I know..."

Itulah percakapan antara dua "jenggo" dalam Django Unchained. Mereka adalah Jamie Foxx (-) pemeran Django dalam Django Unchained, arahan Quentin Tarantino, dan Franco Nero (+), si Django dalam Django, film koboi spageti garapan Sergio Corbucci, yang terkenal di pertengahan 1960-an. Dalam Django Unchained Franco Nero muncul sepintas sebagai orang asing.

Itu hanya lelucon Tarantino untuk menghubungkan dua era. Franco Nero dihadirkan sebagai simbol, ikon, koboi spageti, era 1960-an. Sedangkan Jamie Foxx adalah Django baru ala Tarantino.

Bukan Django
Hanya sebatas itu peran Franco Nero dalam Django Unchained. Setelah itu ia lenyap tanpa bekas. Yang tidak hilang adalah jejak pengaruh gaya spaghetti westerns dari sineas Sergio Corbucci dan Sergio Leone pada Tarantino. Adegan di atas adalah lelucon Tarantino untuk menghubungkan dua era berbeda, dengan tokoh bernama sama, tetapi dengan kisah yang sama sekali berbeda.

Jejak pengaruh itu sudah dinyatakan lewat lagu tema. Django Uncahined menggunakan lagu "Django" versi Luis Bacalov, yang pertama digunakan dalam film Django versi Corbucci. Lagu tersebut begitu populer di Indonesia pada akhir 1960-an, sampai-sampai Lilies Suryani pun menyanyikan lagu itu dalam versi bahasa Italia.

Perlu dicatat, Django Unchained bukan jenisnya film westerns ala Franco Nero. Django milik Tarantino ini tidak beroperasi di wilayah wild wild West.

Ia keturunan Afrika dan beraksi di wilayah perkebunan di Selatan Amerika tempat budak-budak dipekerjakan, diperjualbelikan, dan disiksa. Kisahnya terjadi dua tahun menjelang Perang Saudara Amerika. Kalau toh disebut Western maka Django Unchained bukan jenis yang "konvensional." Dalam catatan produksi film, Tarantino mengatakan:

"Saya selalu ingin membuat film Western. Saya menyukai semua jenis film Western. Namun, karena Spaghetti Westerns merupakan favorit saya, saya berpikir, kalau suatu kali saya membuatnya, maka (film) itu akan akan berada di jagat Sergio Corbucci."

Hasilnya adalah rasa koboi Western yang diletakkan dalam lanskap sosial perbudakan di Selatan. Agak aneh, bagi yang terbiasa mengonsumsi koboi spageti. Tapi, tidak aneh juga bagi yang sudah hafal gaya Tarantino yang keras-keras mengarah ke brutalisme, seperti dijumpai dalam Pulp Fiction ataupun Kill Bill dan terutama Inglourious Basterds.

Budak
Django adalah budak yang dibeli oleh Dr King Schultz (Christoph Waltz), seorang pemburu para buronan demi mendapatkan imbalan. Schultz bekerja sama dengan Django karena Django satu-satunya orang yang bisa mengenali wajah orang yang akan diburunya.

Belakangan Django ingin mencari istrinya, seorang budak bernama Broomhilda von Schaft (Kerry Washington). Ia lama terpisah dengan Django karena dijual dan dipekerjakan entah ke mana. Schultz yang semula memburu uang itu kemudian juga membantu Django untuk mempertemukannya kembali dengan sang istri. Belakangan diketahui istri Django berada di bawah kekuasaan pemilik perkebunan yang kejam, yaitu Calvin Candie (Leonardo DiCaprio). Mereka berjuang keras untuk merebut Broomhilda dari tangan Calvin Candie.

Digambarkan betapa manusia berada di bawah titik nol. Manusia memperbudak manusia lain yang berbeda ras dan memperlakukan mereka bagai binatang. Manusia diperjualbelikan dan ditaruh dalam kerangkeng. Budak boleh diburu oleh anjing buas, boleh disiksa.

Keras
Untuk menghajar perbudakan dan rasialisme, Tarantino menggunakan yang tidak kalah kerasnya. Penggambaran ini mengingatkan kita pada Inglourious Basterds, di mana Tarantino "membantai" Nazi dengan bahasa superkeras.

Dalam Django Unchained, lewat tokoh Django dan Dr King Schultz, Tarantino menghajar habis para pemuja perbudakan. Termasuk Calvin Candie tuan tanah, pemilik perkebunan dan puluhan budak keturunan Afrika. Di rumahnya, sambil menikmati anggur, ia menghibur diri dengan menikmati tontonan adu budak. Layaknya orang mengadu jangkrik, atau menyabung ayam. Kali ini dua budak harus bergelut sampai mati.

Tampaknya Tarantino ingin mempertunjukkan kekerasan itu dalam bentuk sekeras-kerasnya secara visual dan dengaran. Warna-warna luka yang memerah, bunyi gemeretak tulang patah, atau penggambaran yang boleh dikatakan sebagai eksploitatif pada kekerasan itu sendiri.

Bagi Tarantino, seseorang yang tertembak itu tidak cukup digambarkan dengan bunyi senapan, lalu wajah menyeringai dengan teriakan "Aah..!" Harus ada "ritual" lain agar kekerasan itu lebih mewujud sebagai kekerasan.

Misalnya, pelor merobek tubuh, disertai warna luka yang menyala, disusul bunyi berdebum dari tubuh terempas ke bumi. Tarantino seperti sengaja memilih lokasi korban tertembak itu di ladang kapas yang serba putih. Maka ketika pelor itu merobek tubuh, ia seperti menemukan kanvas yang ekspresif untuk menggambarkan luka.

Django didatangkan Tarantino untuk menghajar kebiadaban rasialisme dan perbudakan itu dengan cara yang tak kalah keras. (XAR)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau