Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Game of Thrones" dan Candu Ketidakpastian

Kompas.com - 06/04/2014, 16:42 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -- Bagi penggemar Game of Thrones, serial televisi di HBO, menunggu musim berikutnya serasa tak tertahan lagi. Tidak heran, seminggu sebelum pemutaran di Amerika Serikat, klik trailernya di Youtube sudah mencapai 20 juta. Untuk kawasan Asia, penonton masih harus bersabar hingga tanggal 13 April 2014. Bagi yang tidak menonton, Game of Thrones adalah sengketa di abad pertengahan di antara kerajaan-kerajaan yang diinspirasi dari War of Roses yang terjadi di Inggris sekitar tahun 1450.

Pertanyaannya tentu saja kenapa serial ini begitu menarik? Pertengahan Mei lalu, Kompas mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan para pemain serial ini di tengah kota London yang hujan, ditemani makanan kecil dan bercangkir-cangkir teh hangat. Satu hal yang pasti, serial televisi yang dibuat berdasarkan novel George R Martin ini menjanjikan satu hal: Ketidakpastian.

Ketidakpastian ini dibungkus dengan cerita fantasi ala abad Pertengahan, dialog yang cerdas, dan karakter yang terus berkembang. Perlahan tetapi pasti, semua tokoh protagonisnya mati. Itu pun dengan cara kejam. Ned Stark, tokoh utama pada musim pertama mati dengan digantung. Musim ketiga juga menghadirkan episode "Red Wedding", yaitu pembantaian di pernikahan di tengah pernikahan Rob Stark, putra Ned.

"Musim keempat? Hmm... Siap-siap saja. Akan ada tragedi yang lebih besar, selain naganya sekarang sudah besar," kata Maisie Williams, pemeran Arya Stark.

Main bagus atau dibunuh
Rupanya, di antara para pemain, tewasnya karakter demi karakter menjadi bahan bercanda. Thomas Brodie-Sangster yang menjadi Jojen Reed mengatakan, para pemain tidak pernah tahu apa yang akan terjadi pada karakter mereka di episode berikutnya. Sampai-sampai, kalau khusus diajak makan produser, mereka akan menatap pemain lain dengan pandangan khawatir.

"Pilihannya cuma dua, kau main bagus atau karaktermu akan dibunuh. Masalahnya, kami semua bermain bagus," katanya.

Carice van Houten, yang berperan sebagai penyihir jahat Melisandre, bahkan pernah hampir menangis waktu diajak makan oleh asisten produser. Walaupun sampai akhir tak terjadi apa-apa, sepanjang makan ia gelisah.

"Saya seperti menunggu, kapan dan bagaimana dia akan mulai pembicaraan tentang karakter saya yang mau dibunuh," ujar Carice.

Sambil minum english breakfast tea dan mengunyah muffin bertoping irisan telur, asparagus, dan keju krim, wartawan berdiskusi dengan para pemain tentang film ini. Bagi Isaac Hempstead Wright yang menjadi Brian Stark yang lumpuh, film ini menarik justru karena ceritanya yang tragis. Cerita tentang fantasi dan petualangan dieksekusi lewat skrip yang memukau.

Sementara Liam Cunningham yang menjadi Davos Seaworth mengatakan, investasi terbesar film ini ada di karakter tokoh-tokohnya, masing-masing memiliki kekuatan dan kekhasan. Perjalanan tiap-tiap tokoh tidak pernah membosankan karena pemain tidak tahu apa yang menunggu di halaman berikutnya dari skenario. Liam bercerita, ia bekerja keras untuk menguasai skenario yang diberikan 2-3 minggu sebelum shooting.

"Dan itu berat. Dalam musim kedua, saya dapat 16 adegan yang masing-masing 7-8 halaman di satu episode," cerita Liam.

Sayangnya, para pemain enggan membocorkan cerita pada musim keempat yang berjudul "Ice and Fire: A Foreshadowing". Seperti Sibel Kekilli yang memerankan Shae, pelacur kekasih Tyrion Lannister. Rumor mengatakan, Shae akan tewas pada musim keempat. Namun, ia hanya tertawa-tawa saja saat 10 wartawan dari berbagai penjuru dunia mencecarnya dengan pertanyaan: bagaimana karaktermu akan mati? Apakah dibunuh keluarga Lannister?
"Yang jelas, Tyrion adalah satu-satunya cinta sejati Shae, dan Shae adalah cinta Tyrion," katanya.

"Tak gendong"
Para pemain banyak tertawa dan bercerita tentang situasi di belakang layar. Bran, misalnya, sebagai yang termuda, sering digendong-gendong ke mana-mana, tidak hanya dalam perannya, tetapi juga di sela-sela shooting. Ia juga bercerita, dalam musim keempat ini banyak perjalanan ke bagian utara yang dingin dan bersalju.

"Kami shooting dengan salju buatan yang menyakitkan tenggorokan. Kru bisa memakai penutup mulut, tetapi para pemain tidak bisa," katanya.

Carice dan Liam tidak henti-hentinya saling bercanda. Carice berkata, Liam terus dipakai dan tidak dibunuh dalam serial itu karena bentuk kepalanya yang cocok dengan peran-peran abad Pertengahan. Sementara Gwendoline Christie yang dalam serial bersifat kelaki-lakian bercerita dengan lembut tentang kelelahannya harus berlatih pedang dari pagi hingga malam sebelum shooting dimulai. Hadir juga Aidan Gillen yang menjadi sosok abu-abu Littlefinger yang dengan serius mengatakan, sebagai pemain teater, ia masih mencari pencapaiannya berkesenian dalam film ini. Sementara Rory McCann yang menjadi The Hound yang sadis malah panjang lebar bercerita tentang hobinya membuat kapal dari kayu di sela-sela waktu shooting di rumahnya di Skotlandia.

Walau tidak tersimpulkan, mungkin sosok-sosok pribadi ini yang menjadikan Game of Thrones menarik. Game of Thrones dengan segala tekniknya berhasil menghadirkan hidup kita masing-masing. Hidup adalah perjalanan karakter-karakter yang berpapasan. Tidak ada satu pun dari karakter manusia yang berwarna hitam atau putih. Semua saling merajut, bertarung, dan bekerja sama untuk menghadapi hidup yang punya satu kepastian, yaitu ketidakpastian itu sendiri. (Edna C Pattisina)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau