"Ini sebuah film drama action, ini sebuah film yang mungkin di Indonesia belum pernah dibuat karena ini film anak-anak. Jadi kalau mau nonton akan banyak sekali yang didapat, bukan hanya hiburan, tapi juga banyak inspirasi buat anak-anak," kata sutradara film Para Pemburu Gajah, Hermawan Rianto saat berbincang dengan Kompas.com di Javaro Coffee, di halaman Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (17/6/2014).
Ide untuk mengangkat cerita gajah Sumatera ini bermula dari kegiatan shooting film dokumenter yang diproduksi Hermawan pada 2010 lalu. "Kebetulan waktu itu kami sedang dalam perjalanan membuat film dokumenter ke Bagansiapiapi, dari situ kami lewat Riau, lewat tempat-tempat yang dulu menjadi habitat gajah tapi sekarang sudah jadi perkebunan sawit dan tambang," cerita Hermawan.
"Kita tahu konflik gajah dan manusia banyak sekali. Dari situ kami berpikir kalau bikin film anak-anak ini isunya mesti gajah. Mungkin penyelamatan, atau mungkin pelestarian, konservasi," lanjutnya.
Dari situ Hermawan yang dibantu penulis naskah Edo Aditya, mulai mematangkan skenario Para Pemburu Gajah yang dibintangi Yama Carlos, Valerie Thomas, Kesha Ratuliu, Gusti Laskar Ferdiansyah Simatupang, Endy Arfian, Aikhal Mukhlis, Julian Kunto, Marsya Sitakara Adiyuta, dan Shara Virrisya.
Agar pesan mencintai dan melindungi gajah Sumatera dari kepunahan dapat tersampaikan dengan baik, Hermawan menghindari cerita yang mengedepankan konflik sosial. "Kami benar-benar mau membuat film anak-anak yang enggak ada konflik si kaya dan miskin, tidak ada konflik sosial," tekan Hermawan.
Bukan sekadar mengedukasi melalui film semata, kampanye pelestarian gajah Sumatera juga berlanjut dengan aksi nyata. Caranya, Falcon Pictures selaku rumah produksi film ini sengaja menggandeng World Wide Found Indonesia (WWF-Indonesia) sebagai mitra yang akan membantu menyalurkan 10 persen hasil penjualan tiket film Para Pemburu Gajah untuk pengembangan program pelestarian gajah.
"Mereka ingin mendonasikan sebagian keuntangannya untuk program-programnya pelestarian gajah, kebetulan mereka memilih WWF yang kebetulan ada program pelestarian gajahnya. Hasil penjualan tiket filmnya, 10 persen akan didonasikan ke WWF," kata Communication & Media Relation Officer WWF-Indonesia, Noverica Widjojo dalam wawancara di tempat yang sama. Noverica mengatakan, WWF-Indonesia terbuka untuk bekerja sama dalam hal ini mengingat keberadaan gajah Sumatera yang saat ini cukup memprihatinkan.
"Kalau di Sumatera, berdasarkan data WWF 2007 itu hanya tinggal sekitar 2.400 sampai 2.800 ekor gajah. Selama 25 tahun terakhir gajah Sumatera itu habitatnya terfragmentasi sekitar 70 persen. Kalau di Riau, dari 2007 itu tinggal 120 ekor saja, tapi dari 2004 di Riau itu sudah 100 gajah mati di alam liar, critically endangered banget," jelas Noverica.
"Dari pihak Falcon meminta untuk upaya konservasi gajah, jadi dari kami sendiri akan menggunakan untuk program gajah. Tahun 2004 itu kami mendirikan tim flying squad atau pasukan gajah, jadi gajah liar kami latih untuk mitigasi konflik. Kan gajah selama ini ngikutin insting saja, entah itu kebun sawitnya siapa, dia main tabrak saja. Ini kan akhirnya jadi konflik. Nah flying squad ini yang membantu supaya gajah enggak masuk ke pemukiman di desa," lanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.