JAKARTA, KOMPAS.com — Film The Last Barongsai, yang diangkat dari novel berjudul sama karya Rano Karno, rupanya lahir karena kekhawatiran pribadi Rano akan keberadaan unsur-unsur tradisional pada masa kini.
"Ini sebenarnya hanya kekhawatiran pribadi, bahwa suatu saat orang tidak lagi bermain tanjidor, bermain cokek. Nah, sama, barongsai ini secara nyata bukan tidak ada, tetapi yang lebih banyak mainkan adalah anak-anak di luar pribumi, di mana anak-anak (dari) etnis (bersangkutan) sudah tidak menggemari lagi," ujar Rano ketika mengadakan jumpa pers di Kopi Klyan, Cikajang, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Rabu (21/12/2016).
Pemeran Doel dalam sinetron seri Si Doel Anak Sekolahan ini melihat bahwa barongsai harus dilestarikan.
"Intinya di situ, kebudayaan itu harus dipertahankan dan dijaga, dilestarikan, karena itu adalah sebuah kekuatan satu bangsa," ujarnya.
Sementara itu, kisah The Last Barongsai terinspirasi dari kehidupan etnis Tionghoa di Tangerang, Banten.
"Ada sebuah kultur yang menarik di Tangerang, yaitu Cina Benteng. Mereka ini terbentuk setelah perang pada tahun 1740, perang VOC dengan Tionghoa. Mereka pecah, ada yang lari ke Tangerang dan Karawang," katanya.
"Ternyata, etnis ini sangat memengaruhi ekonomi segala macamlah. Bahkan, memengaruhi segi agama. Banyak ulama China yang terkenal, tetapi saya tidak membicarakan itu. Saya bicara ada kesenian yang sama dengan Betawi," katanya.
Film The Last Barongsai dibintangi oleh Tyo Pakusadewo, Dion Wiyoko, Azis Gagap, Rano Karno, Furry Citra, dan Vinessa Inez.
Film yang disutradarai oleh Ario Rubbik itu akan diputar mulai 26 Januari 2017.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.