Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semangat Kebangsaan Kita Sudah Luntur

Kompas.com - 20/01/2008, 10:39 WIB

Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X

"Izinkanlah saya mengakhiri pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memenuhi kepentingan Nusa dan Bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya."

(Teks ini merupakan akhir dari pidato Sri Sultan Hamengku Buwono IX (alm) pada saat penobatan menjadi Raja di Kasultanan Yogyakarta 18 Maret 1940.)

PERNYATAAN itu menggambarkan secara jelas sikap nasionalisme budaya progresif, yang kala itu membuat Belanda sempat tercengang. Sejarah kemudian mencatat, ternyata pidato itu memiliki dimensi jauh ke depan, tidak hanya sekadar "sebatas pengetahuan dan kemampuan". Akan tetapi lebih dari apa yang telah dijanjikan, dibuktikannya dengan tindakan nyata di saat-saat genting sekitar proklamasi dan di masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan.

Melalui maklumat 5 September 1945, Sultan HB IX menyatakan Kasultanan Yogyakarta menjadi bagian rak terpisahkan dari Republik Indonesiam yang dijawab Presiden Soekarno dengan Piagam Penetapan pada 6 September 1945, adalah bukti nyata yang menjadi catatan penting sejarah perjuangan bangsa.


Mengadaptasi konstatasi Frederico Ruiz (1999) seorang teolog spiritualitas Spanyol, problema kebangsaan setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, globalitas (globalita) yaitu kompleksitas dari berbagai elemen dalam suatu situasi atau keadaan. Kedua, radikalitas (radicalita) yaitu karakter ekstrem aneka kelompok masyarakat. Ketiga, kecepatan (rapidita) yaitu cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kita tidak membutuhkan lagi bukti atau diskusi berbelit-belit guna menegaskan bahwa semangat kebangsaan kita sudah kian luntur. Setiap hari media massa menyuguhkan aneka tragedi kerapuhan bangsa kita. Jika krisis itu tidak digarap, semangat kebangsaan kita akan semakin rapuh. Kini saatnya untuk merevitalisasi semangat kebangsaan itu sesuai sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia yang dipakai sebagai padanan nasionalisme,
karena cita-cita persatuan sebenarnya telah tumbuh lama jauh sebelum masa kolonialisme.

Problema kebangsaan yang kita hadapi sebenarnya krisis gaya hidup. Di hadapan kita terbentang globalitas budaya, tata nilai, gaya politik, cara hidup, agama dan sebagainya. Di satu pihak, ada kelompk-kelompok masyarakat yang hanyut dalam globalitas itu. Mereka lebih suka ikut arus karena bebas memilih apa yang disukai, mereka seakan tak punya spiritualitas. Akibatnya, identitas dirinya menjadi tidak jelas, atau setidaknya ambigu.

Di lain pihak, sekelompok orang mengambil sikap radikal, yang menganggap perubahan sebagai kemunduran spiritualitas. Mereka lebih suka menutup diri terhadap globalitas dan bertahan pada "keyakinan" dan cara hidup secara ketat. Munculah kelompok-kelompok radikal (radicalita) di berbagai tempat.

Di Indonesia jurang antara kelompok itu cenderung kian melebar. Tambahan lagi, kita tidak bisa membendung kecepatan (rapidita) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempercepat masuknya globalitas (globalita) sampai ke dapur-dapur kita. Kecepatan kian memperparah krisis kebangsaan saat orang tidak punya "filter" yang kuat.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com