JAKARTA, KOMPAS.COM--Inilah perpaduan kerjasama yang apik antara sutradara Hanung Bramantyo dengan penulis skenario Musfar Yasin plus bintang-bintang muda yang tampil gemilang. Hasilnya: Sebuah produk film yang cantik, mengelitik dan tentunya menarik.
Maemunah. Tapi biar rada keren sebutlah ia Mae (diperankan Nirina Zubir). Cita-citanya menjadi seorang Polisi Wanita (Polwan), tapi jalan hidup menentukan lain. Orang tuanya memasukkan dia ke akademi kesekretariatan. Lulus kuliah bukannya mendapat pekerjaan layaknya seorang sekretaris, tapi ia justru memilih menghabiskan waktunya bersama tiga sahabatnya sedari kecil, Eman (Aming), Beni (Ringgo Agus Rahman), dan Guntoro (Desta ’Club Eighties). Tak ada waktu mereka isi, selain bermain gaple di sudut lokasi perkampungan mereka, yang padat penduduk di Ibu Kota.
Dari mereka cerita itu berlaku. Eman, lelaki krempeng asal Sunda itu, punya cerita sendiri. Cita-citanya menjadi politikus terpaksa pupus, lantaran orang tua mereka justru memasukkannya ke pesantren. Nasib Eman setali tiga uang dengan dua sahabat lain, Guntoro dan Beni. Hasrat menggapai cita-cita yang diimpikan, justru terpleset karena kehendak orang tua mereka. Jadinya, mereka tumbuh menjadi manusia-manusia bingung dan linglung. Mereka frustasi hingga kadang berbuat onar.
Tibalah giliran orang tua Mae--keduanya diperankan Jaja Miharja dan Meriam Bellina-- menyadari kelakuan nyeleneh anak gadis semata wayangnya itu. Agar tak lagi merasa terbebani dengan Mae, mereka memutuskan untuk menjodohkannya itu dengan lelaki dari kampung sebelah. Percarian pun dijabanin. Satu persatu tetangga dari kampung sebelah didatangi. Kali-kali, jodoh buat sang anak bisa terkabul.
Dari sinilah berbagai cerita disodorkan. Sebagai anak yang nurut, Mae memang tak bisa membangkang. Ia hanya bisa manut dengan keinginan orang tuanya itu. Satu persatu lelaki mulai menjambangi rumah Mae. Harapanya, moga-moga bisa menjadi jodoh buatnya. Siapa tahu?!
Sial, dari pilihan sang n’yak dan bokap, tak satu pun yang mengena di hati Mae. Jika sudah begini, urusan bisa jadi lain. Mae mengerahkan rekan-rekannya itu agar si pria justru tampak sebagai pecundang.
***
Menyaksikan Get Married, buah karya Hanung Bramantyo, boleh jadi semacam oasis di tengah gempuran film hantu-hantuan yang kini mencekoki penonton film nasional. Darinya, kita merasa terhibur tanpa perlu mengerutkan dahi. Lihatlah cerita yang disodorkan Musfar Yasin dan dituangkan Hanung dalam bentuk visual terasa begitu membumi tanpa terasa menggurui. Apa yang ada dalam film Get Married menggambarkan situasi Indonesia.
Ada kritikan yang disodorkan dan tawa yang disebar. Gaya yang cukup kental dari karya Musfar Yasin. Ini menjadi kekuatan yang aduhai. Konflik diaduk dengan bumbu komedi yang cerdas dan ciamik. Itu masih belum cukup. Akting para pemainnya yang gemilang, juga pantas jadi hitungan. Tak terlalu berlebihan rasanya jika karya film Hanung ini nyaris tanpa cela. "Saya merasa ini film terbaik saya, setelah Brownies," begitu pengakuan Hanung seusai penayangan perdana film barunya itu di Jakarta, belum lama ini.
Diakui sutradara peraih Piala Citra itu, inilah film yang benar-benar menggambarkan dirinya. "Saya tak dipaksa membuat Jakarta yang indah. Di sini, saya bisa membuat film kampung. Film ini menggambarkan kehidupan saya, yang tinggal di daerah kampung di Jogja," ungkapnya.
Apa yang dikatakan Hanung, memang benar adanya. Wajah Jakarta yang sebenarnya justru begitu terasa. Gang-gang dengan rumah-rumah yang padat, kali yang hitam legam dan tentu saja suasana pluralitas yang turut mewarnainya.
Pluralitas. Ya, lewat sosok seperti Mae, Eman, Guntoro dan Beni, kondisi itu terasa betul. "Kita hidup dalam pluralitas dan bagaimana masing-masing dari kita bisa menyikapinya. Bagaimana memecahkan persoalan dengan cara masing-masing," terang Hanung.
Menyaksikan Get Married, pada akhirnya, penonton diajak melihat sisi lain tentang Indonesia. Dan, tentunya, dengan kemasan yang disajikan ringan dan menghibur. Sehingga, penonton tak merasa digurui atau bahkan dibodohi. Ya, seperti oleh film jurig-jurigan itu.