Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ingin Bertemu Ebiet, Ketuk Hati SBY

Kompas.com - 16/07/2008, 10:51 WIB

SURABAYA, RABU - Meski hukuman tembak sudah di depan mata, Sugeng bin Adi Prajitno masih sangat berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meringankan hukumannya. Ia pun menulis surat yang ditujukan kepada Presiden SBY yang ditembuskan pula ke Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung, Ketua DPR, Komisi III Bidang Hukum DPR, dan Komnas HAM.

Dua lembar kertas dengan tulisan tangan tinta hitam Sugeng itu tercantum kalimat “Kepada yang Terhormat Presiden SBY”.  Selain permohonan agar eksekusi mati terhadap dirinya ditangguhkan dan ditunda, pria kelahiran Jombang, 15 September 1964, ini juga melampirkan penilaian dirinya selama 20 tahun menghuni penjara, menunggu proses eksekusi.

"Saya tahu dari sisi hukum tidak mungkin eksekusi diri saya batal, tapi dari sisi kemanusiaan saya ingin mengetuk hati Pak SBY. Saya memohon agar hukuman mati itu ditangguhkan dan ditunda,” papar Sugeng yang mengaku kecewa dengan menjalani hukuman selama 20 tahun, tetapi tetap saja dieksekusi mati.

Ikhwal menulis surat permohonan penangguhan dan penundaan eksekusi kepada SBY itu diakui sebagai permohonan terakhir sebelum ajal benar-benar menjemputnya di depan regu tembak. Selain dari dirinya sendiri, dorongan untuk memohon agar Presiden SBY mempertimbangkan lagi eksekusi itu juga datang dari rekan-rekannya.

Namun, Sugeng juga pasrah bila akhirnya eksekusi tersebut tetap dijalankan. "Kalau surat saya tidak digubris, saya pun pasrah karena ajal kematian itu sudah ada yang mengatur, ke mana pun manusia sembunyi ajal pasti datang," katanya.

Selain surat, ia juga melampirkan catatan semacam buku rapor. Yaitu rapor berupa penilaian terhadapnya selama 20 tahun di lembaga pemasyarakatan (LP). Di rapor itu "nilai" Sugeng memang bagus. "Lampiran ini sebagai bahan cross check apa saja yang saya lakukan di dalam penjara dan bila berkenan bapak Presiden dapat mempertimbangkan," kata Sugeng membaca salah satu paragraf suratnya.

Selain meminta penangguhan dan ditundanya eksekusi mati atas dirinya, ia juga memohon ampunan atas nama Sumiarsih, ibunya yang kini juga tinggal menunggu eksekusi. Ia berharap surat yang dititipkan kepada rekannya Sholeh SH, yang pernah 1,5 tahun satu sel dengannya saat di LP Kalisosok, Surabaya, secepatnya sampai di tangan Presiden SBY. "Suratnya nanti saya kirimkan kilat dan besok (hari ini) sampai ke Setneg," ujar Sholeh.

Menurut Sholeh, yang menjadi napi politik saat satu sel dengan Sugeng, secara hukum proses eksekusi itu sudah tidak bisa ditawar lagi. Namun, dari sisi kemanusiaan dan melihat perkembangan Sugeng selama 20 tahun di penjara, surat tersebut perlu untuk dipertimbangkan. "Ia sudah minta maaf kepada anak Pak Poerwanto dan yang bersangkutan juga sudah memaafkan. Lalu, kegiatannya selama di LP Porong juga sangat positif bagi tahanan lainnya, apa untungnya jika ia harus dieksekusi?" tanya Sholeh.

Jika eksekusi akhirnya datang, Sugeng yang juga pintar membuat kaligrafi Arab ini meminta agar jasadnya dikembumikan di Jombang. "Kalau saya boleh minta, saya ingin dikebumikan di Jombang saja dekat dengan keluarga. Kalau ibu (Sumiarsih) saya belum tahu," tuturnya. Sumiarsih dan Sugeng memang berasal dari Jombang.

Bahkan, bila diizinkan juga ia memohon dapat dipertemukan dengan Gus Dur (Abdurahman Wahid) dan Ebiet G Ade. "Saya dengan Gus Dur itu sama-sama dari Jombang dan saya sangat kagum dengan Gus Dur. Kalau Ebiet saya sangat suka dengan syair-syair lagunya. Kalau ada kesempatan saya memohon bisa bertemu dengan mereka," pinta Sugeng.(IIT)
      

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com