Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kelembutan di Lengkung Alis Matamu

Kompas.com - 14/10/2008, 21:06 WIB

Oleh : Ilenk_rembulan
 
Dengan cover yang menawan, sudah bisa ditebak, aroma puisi seperti apa yang tersaji di dalamnya. Sentuhan kelembutan feminis mencerminkan hati penyair yang bagi sebagian teman perempuan yang kukenal dengan bisik-bisik katanya suka merayu dengan puisinya.

Buku kumpulan puisi Johanes Sugianto ini terdiri dari 86 puisi. Tidak dibagi dalam beberapa bab, atau semacam frase, kesemuanya di tulisnya langsung. Luar biasa, sajak-sajak itu diramunya selama tahun 2006, betapa produktifnya penyair ini.
Sentuhan kelembutan jiwa pada setiap sajaknya sudah menyapa saya sejak awal. Di mulai dengan puisi “Kadang”, puisi bebas ini, membuatku tersenyum membaca di bait akhirnya, kukutip di bawah ini :
………………………………………..
kuharap engkau tahu
dukamu adalah dukaku
saat ada ragu katakanlah
saat ada duka bersandarlah
padaku

Membalik halaman berikutnya  saya terpana dengan sajak sederhana “Doakan Mak”. Kata “Mak” terkesan ndeso ini yang saya sukai. Ada keindahan tersendiri membacanya, dimanapun mau mak, ibu, mama, rasanya puisi untuk mereka adalah suatu rangkaian keindahan yang diuntai dengan jiwa penuh kerinduan. Diramu pada Maret 2006,  bait terakhir kukutipkan berikut ini :
………………………………..
mak, doakan aku ya kalau shalat
biar aku tetap kuat dan taat
satu lagi , mak
sajadah yang kukirim  jangan lupa dirawat

Ada puisi yang bicara tentang perjalanan pernikahannya. Judulnya “Limabelas tahun sudah”, suara Iwan Fals dengan lagunya Kemesraan mengalun riang menemani menuntaskan membaca 15 baris yang terbagi dalam 4 bait.
…………………………………………….
diammu adalah bara
memanaskan semangat
mengusap keringat
saat pikul beban berat

:sejenak aku bisa istirahat

Lebakbulus, mei 2006

Ada beberapa puisi yang dipersembahkan untuk buah hatinya. Seperti dalam awal ulasan di buku tersebut bahwa seorang putrinya telah berpulang terlebih dahulu ketika masih kecil. Kepergihan bidadari kecilnya telah mengilhami meramu tiga puisi “tak lagi ada”, “kenangan” dan “Anggita”, terakhir ini nama bidadarinya itu.

Mataku meradang merah membaca sajaknya yang berjudul “Anggita” ini, bisa kubayangkan Yo membopong harta titipan Ilahi itu dengan kesedihan mendalam, iringan sayup Aku bukan pilihan oleh Iwan Fals, berkumandang .

tidurlah
dalam lelap
berselimutkan dedaunan
dan kelamnya malam

letih aku
bukan karena membopongmu
dari rumah kita
ke rumahmu
yang baru dan sunyi
tapi karena tangis tak bisa henti

tidurlah
kuselimuti kamu
dengan kasih sayang
kangen dan dukaku

Lebakbulus, juni 2006

Sajak-sajak Yo ditulis pendek-pendek namun setiap kata-kata yang terangkai seperti ada rohnya dan hidup saling mengait satu dengan lainnya.

Pada sajak “Selamat ulang tahun, nak”, seperti diceritakan diawal sekapur sirih darinya, bahwa suatu ketika dia ingin merayakan ulang tahun anaknya, namun uang tak ada di saku. Ah, kejadian ini sempat saya alami juga, mungkin karena kurcaciku kubiasakan sejak kecil tak pernah ada pesta ulang tahun, paling hanya kecupan mesra dan hangat dan biasanya saya buatkan kue dan makanan lezat special yang kumasak sendiri, mereka tidak begitu menuntut. Namun melihat teman-temannya kadang merayakan dengan pesta kemeriahan, pasti di hatinya akan terukir keinginan itu, namun tak terucap.

Adakah saya salah tak bisa menangkap keinginan itu? atau saya yang egois pelit tak mau berbagi sedikit rezeki untuk sekedar memberikan hari istimewa itu berlalu dengan kenangan meriah? Setiap kukorek imajinasi itu pada ke dua kurcaciku, jawabannya adalah “simpan uangnya bunda, buat biaya sekolah”. Ah..!
…………………………………………
dan bahagia pulalah kamu meski  tanpa acara meriah,
kamu tak kedinginan oleh angin malam
juga tak takut marah alam
bahagialah kamu meski tanpa tepuk tangan
sedang di tenda-tenda sana teman-temanmu tanpa makanan,
secuil roti jadi hidangan lumayan

maafkan ayah yang sedang berduka
dan tak punya uang untuk beli hadiah

Tjpriok, juni 2006

“tiga belas lilin”, merupakan puisi ulang tahun putrinya yang ke 13, ditulisnya dengan nada sendu, saya sempat terhanyut sejenak.  Terdiri dari 5 bait, kukutipkan 2 bait terakhir ,
…………………………………………………
tak ada mawar terikat pita
sebagai tanda bahagia
perih suatu masa yang kembali tiba
mengiringi tiga belas tahun masa silam
saat luka-luka terkapar dalam

tiga belas lilin
menuntunnya melangkah
menembus lorong-lorong kehidupan
dan pertanyaan

Lebak bulus oktober 2006

Sampailah pada sajak yang menjadikan ikon kumpulan puisi ini , pada halaman 32 dengan judul mengelitik “Di lengkung alis matamu”. Pada bisik-bisik dengan penyairnya, dia katakan puisi ini telah membuat penasaran banyak orang, siapakah yang dimaksud dengan Si Lengkung alis ini. Dan kepada dirikupun dia hanya tersenyum mengelak tentang jatidiri siapa sebenarnya, namun di pusaran ombak pulau Natuna, aku seperti menemukan desiran deretan alis di sana. Diramu pada juli 2006.
di lengkung alis matamu
kusandarkan harapku
usai perjalanan yang tertatih
dan kudapatkan keteduhan
ya, di lengkung alis matamu

katakan padaku
di mana hendak kutaruh rinduku
jika engkau pergi

di lengkung alis matamu
kuselami sayang yang tak terkata
inilah kiranya, dermaga hatiku
tempat melabuhkan rindu

Penyair yang selalu menulis “lugu dan pemalu” bila saya goda di setiap perbincangan akrab dengannya ini, dan biasanya saya akan protes habis-habisan ketika dia ucapkan kata-kata itu, kesannya memang seperti pembelaan terhadap lontaran yang saya katakan bila ada bisikan tentang “julukan perayu wanita” baginya. Saya tak percaya dengan julukan ini, karena setiap mengenal dan berbicara dengannya kesan lembut dan perhatian memang ada. Dan sayapun mempunyai beberapa sahabat pria seperti ini. Dan biasanya saya menganggapnya sebagai kakak lelaki, biasanya memang umurnya lebih tua.

Saya katakan pada Yo suatu saat ketika berkumpul dengan para kurawa, “tak usah kau pusingkan dengan semuanya itu, bukankah hidupmu kau sendiri yang menentukan?, adakah kau ikut dengan mereka? Sehingga mereka mempunyai hak untuk mengatur kau harus begini, begitu”.

Siapa yang salah ketika segudang kata indah dan lembut berkesan cengeng terkadang terselip dalam sms maupun email? Bila kita menerima dengan dendang biasa, jadilah biasa, bila kita mengukir juga dengan keindahan , pastilah akan menjadi suatu puisi baru, mengapa musti ada terselip pikiran negative padanya.
Saya sering menggoda beberapa teman dengan kalimat-kalimat pendek terkesan puitis setiap ada kesempatan mengirim email atau sms, dan biasanya tergantung mereka bagaimana menerimanya. Kalau kemudian membalas bisa gawat jadinya kalau ini dilakukan sesama perempuan. (Masak jeyuk minum jeyuk ! halah !)
Seperti juga pilihan Jokpin pada pengantar buku ini, saya luar biasa suka dengan puisi yang berjudul “Telah”,
telah tergurat
kata-kata

telah berkarat
derita

getir hati
teriris perih

di jiwa mati

cinere, agustus 2006

Kemudian sajak yang lain berjudul “mata pisau”, dua sajak ini bertepatan di cetak dalam halaman yang berdampingan yaitu halaman 78 dan 79, jadi ketika mata menari menatap baris-baris Telah, yang lainnyapun tak sabar ingin melahap baris-baris di halamanan sebelahnya.
mata pisau berkilau
seperti cermin
memantulkan wajahku
yang payah
sedang Engkau
entah dimana

Lebakbulus 2006

Lain lagi dengan satu sajak yang sederhana namun kurasakan dalam, berjudul “Asbak”, saya kutip disini, sajak ini pendek hanya terdiri 4 baris,

kudengar berisik puntung rokok berbicara
di asbak bulat menghitam tersundut api
aku diam  tak berkata
hatiku sunyi tak bertepi

Jakarta, mei  2006

Ada juga sajak yang diramu untuk ke tiga sesama penyair, yaitu HAH (Hasan Aspahani) dengan judul ” belum sejuta puisi”, untuk pakcik Ahmad berjudul ” teras” dan kepada   Jokpin “banyak saku”.

Terakhir, saya  suka pada puisinya yang tercetak “dalam sakit”,sederhana namun dalam makna. Kukutip disini,
dalam sakit berbaring saja
sajakmu tiba menjengukku

kata-kata yang sama
tak pernah bosan dibaca
sebab kejujuran dan ketulusan
alangkah sederhana

Lebakbulus, juli 2006

Seiring dengan ukiran waktu dan rangkaian kata dalam perkenalan sejak awal penyair ini, letupan ide dan kreasi terus mengalir dari tanganya. Sering saya diminta pendapat apabila dia selesai memasak puisinya di sela kesibukannya sebagai humas di perusahaan multinasional itu. Naluri seni itu mengalir dengan derasnya, sentuhan imajinasi masih meletup terus dan berharap terus tak mati seiring dengan banyak keinginan-keingainannya yang belum terwujud. Kadang berbagi cerita pahit tentang kehidupan dan keluarga, sempat dikenalkan dengan putrinya yang pertama Kirana (menjadi salah satu judul puisinya) yang cantik (dia berkata sambil tertawa “siapa dulu bapaknya”, halahh! Bebek ora nyilem !). Kujawab dengan santai “Ya sudah kita besanan saja, kan kurcaciku cowok semua”. Jadi cukup kusediakan sekarung kata dalam bingkai puisi untuk mas kawin kelak, eh…wedhus!, begitu seperti biasa jawaban jengkel penuh persahabatan dilontarkan.

Kadang saya menjadi algojo untuk puisi-puisi yang baru dirangkainya, sering saya katakan “ini terlalu cengeng!, ini kelihatan ringan tak dalam artinya!, itu terlalu rapuh!”. Mungkin karena sering  saya mengkritik dengan kelewat cerewet, pernah dia katakan “tapi beberapa perempuan suka dengan puisiku yang cengeng ini. Mereka menulisnya di blogku” Halah ! saya biasanya berteriak : mau lebih berbobot tidak puisinya? apa mau membuat sesuai permintaan penggemar? Ya silahkan saja, penyair sah-sah saja menulis kok, mau bagaimana kan dia penentunya. Dan biasanya sehabis mendengar cerocosan begini, kemudian dia akan mengganti kata yang dirasa tidak berbobot menjadi lebih bagus.

Saya berharap di buku ke duanya nanti, puisi-pusinya jauh lebih dalam dan berbobot, dan saya selalu berpesan padanya biarkan bentuk puisimu seperti ini, jangan berbayang Sapardi, Subagyo Sastrowardoyo ataupun Jokpin , saya bosan dengan puisi-puisi seperti itu, rangkailah puisi yang memang dari jiwamu dari roh yang mengalir tanpa perlu melihat kiri kanan. Bentuk sederhana penuh makna tak banyak bermain panjang kata, tentu suatu kesulitan tersendiri dalam memahat kata model begini bagi seorang penyair, tetapi saya percaya seorang Yo, pasti dapat melakukan dan bisa.

Salam sepotong roti dari Bogor, medio November 2007.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau