Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Menuju Besar

Kompas.com - 07/12/2008, 00:54 WIB

Tahun ini Jakarta International Film Festival atau JiFFest mengetatkan ikat pinggang. Lama penyelenggaraan turun menjadi hanya 5 hari dari 10 hari pada tahun 2007 dan jumlah film yang diputar turun dari 220 judul jadi 138 judul.

Biaya penyelenggaraan menjadi alasan pengetatan itu, tetapi sekaligus mendorong penyelenggara JiFFest mereposisi festival ini.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (YMMFI, penyelenggara JiFFest) Ditta Amahorseya mengatakan, pihaknya memang sedang berusaha mengubah format JiFFest dari sekadar ajang memutar film berkualitas menjadi acara kultural masyarakat urban Jakarta. Katakanlah, semacam Java Jazz Festival yang digelar tiap bulan Maret di Balai Sidang Jakarta.

”Kami ingin JiFFest tidak dikenal hanya dari film-filmnya saja, tetapi menjadi a place to go to. Kami sedang melakukan reposisi agar lebih terasa nuansa festivalnya. Nantinya akan lebih banyak kegiatan pendamping, seperti pemutaran film di tempat terbuka, pameran foto tentang film, pertunjukan musik soundtrack, atau peragaan kostum film,” ungkap dia.

Hanya saja, keinginan itu terbentur kendala utama ketiadaan tempat penyelenggaraan tunggal untuk sebuah festival film. Ketiadaan tempat yang terpadu menyebabkan pemutaran terpaksa diadakan di dua tempat terpisah, menyewa gedung bioskop. Menurut Lalu Roisamri, idealnya festival film diselenggarakan di tempat yang memiliki bioskop khusus untuk festival itu, seperti pada Festival Film Cannes, Perancis.

Cari sendiri

Kendala lain adalah masalah klasik, yakni dana. Setelah sepuluh tahun didukung lembaga donor dari luar negeri, mulai tahun depan JiFFest benar-benar harus mencari dana sendiri.

Tahun 2007, dana donor ini masih menanggung hingga 50 persen biaya penyelenggaraan sebesar Rp 4 miliar. Tahun ini, menurut Lalu, dari biaya sekitar 250.000 dollar AS (sekitar Rp 3 miliar), pihak Hivos dari Belanda selaku pendonor hanya menyumbang 20 persen. ”Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah pusat menyumbang 20 persen, dan 60 persen sisanya dana dari sponsor swasta,” papar Lalu.

Dalam kondisi krisis finansial global seperti saat ini, mencari dana sponsor swasta pasti bukan pekerjaan ringan. ”Biaya sewa film harus dibayar dengan dollar AS. Kisaran harga sewanya antara 0-1.500 dollar AS per film untuk dua kali putar,” ungkapnya.

Dalam kondisi seperti ini, kerja sama dengan pihak kedutaan besar negara pembuat film dan uluran tangan importir/distributor film yang bersedia ”meminjamkan?” filmnya menjadi salah satu celah meringankan beban panitia.

”Film-film dari distributor tidak dipungut bayaran alias gratis karena dianggap sebagai promosi untuk mereka. Paling kami hanya membayar biaya transportasi. Jadi, kalau filmnya sudah di Jakarta, kami sama sekali tidak bayar apa pun,?” kata Lalu. JiFFest memang sedang berada di tengah dilema.... (DHF/IVV)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com