Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Capcai Deh

Kompas.com - 15/03/2009, 06:42 WIB

Samuel Mulia

Saya membaca sosok Raditya Dika di koran ini, Rabu 4 Maret lalu. Yang menarik buat saya, ucapannya yang berbunyi demikian saat ia menawarkan naskah bukunya yang kondang itu kepada penerbit: ”Sejujurnya ketika saya jelaskan naskah ini berasal dari blog, pihak penerbit malah bertanya, ’Apa itu blog?’ Capek deh….”

Saya sendiri suka sekali berkata demikian. Capek deh, atau kalau dipelesetkan menjadi C spasi D, artinya capek deh. Kalau benar-benar terpeleset, menjadi, capcai deh.

Saya capek ada orang tak mengerti blog, saya capek ada orang tanya terus bagaimana memasukkan foto ke dalam facebook, saya capek orang bertanya soal formulir 1721-A1, dan apa bedanya dengan B. Tahukah Anda formulir apa itu? Yang jelas bukan untuk pendaftaran masuk perguruan tinggi atau pindah kewarganegaraan.

Kalau tak tahu, saya capek menjelaskannya. Saya capek orang tak bisa mengerti kemajuan teknologi. Saya capek ada yang tanya Youtube itu apa. Lebih capek lagi ada yang bertanya bagaimana menyalahkan kamera saat mengobrol di YM. Dan sebelumnya, saat saya mengatakan c2c yuk, teman mengobrol saya bertanya: ”Apaan tuh?” Ada yang membuat naik pitam lagi dengan bertanya YM itu apa? Saya jawab saja. Yang Mulia. Yuukkk….

Menggurui

Nah, saya lupa dulu orang lain juga capek ketika saya tanya blog itu apa. Teman saya pernah saking jengkelnya mengomel begini. ”Itu kependekan dari goblog. Yaa… kayak lo gitu, loh.”

Saya juga membayangkan betapa capainya teman saya menjelaskan bagaimana mengisi SPT, saya menelepon teman saya yang ahli perpajakan berulang kali dalam waktu hanya sekian menit. Sudah itu saya tak perlu bayar, sementara orang lain harus mengeluarkan dana.

Saya bertanya kepada diri sendiri, apakah saya menyadari saya ini sudah membuat orang kelelahan? Tidak. Sama sekali, tidak! Bayangkan kalau guru yang kemudian berkeluh C spasi D itu. Sekarang saya baru mengerti, kepala sekolah saya pernah mengatakan, saya ini seperti ayam tanpa otak. Mungkin ia sudah lelah sekali karena energinya sudah terkuras untuk saya dan mungkin beberapa murid yang kadar intelektualitasnya sebelas dua belas dengan saya.

Itu mungkin juga, mengapa pepatah otak udang itu tercipta. Saya juga tak tahu siapa yang menciptakan. Apakah ia berotak seperti udang? Sekali lagi saya tak tahu. Apakah udang punya otak? Saya akan bertanya kepada ahli udang. Dan ia mungkin akan mengeluh, ”Capek deh, hare gene gak tahu kalau udang gak ada otaknya.” Sudah pasti saya akan bertanya. ”Oh gitu?” Mungkin dia akan membalas lagi, ”Yaaa… iyalaaah... liat aja yang di depan gue ini.” Saya mungkin akan terkejut dan merespons, ”Yang mana, yang mana?”

Menjadi guru

Saya tak bisa cuma mengomel ”masak gitu aja gak ngerti”. Kalau saya diberi kesempatan mengetahui hal-hal baru terlebih dulu, itu untuk dibagikan kepada mereka yang belum tahu, bukan berhenti pada saya dan mengeluh saat ada yang bertanya, ”Apaan, tuh?”

Dan saya tak bisa menjawab dengan suara lantang yang menjatuhkan. ”Masak sih gitu auja kamyu gak tahu.”

Dunia ini berisi yang pandai dan yang dianggap kurang pandai, yang sehat dan yang retardasi mental, supaya yang retardasi memberi pelajaran kepada orang yang sehat dan yang pandai, untuk belajar mensyukuri dan belajar apa artinya menerima itu.

Maka dari itulah, bekerja itu ibadah. Ibadah itu bukan laporan mingguan, tetapi kegiatan harian. Ibadah itu tak bisa mengeluh capek, deh. Makanya, sekarang mulut saya tak bisa bilang, ”Kamyu gobluog (pake g karena sangking bodohnya) bangget (pake dua g juga karena saking gobloknya).” Nyambung lagi, ”Doasar uotak udiang.”

Di luar semua itu saya juga tak boleh lupa, ada banyak orang tak mau maju, sama seperti tak semua orang mau berbuat baik. Nurani saya mengatakan, kasihan sekali. Hari gini enggak mau maju, nanti jadi katak di bawah tempurung? Tetapi, saya harus menghargai orang, juga saat mereka memilih berada di bawah tempurung.

Karena maju buat saya belum tentu bermanfaat buat mereka. Hak untuk tidak mau maju, juga hak orang. Bisa jadi saya belajar juga, supaya saya mengerem kemajuan. Nanti kalau terlalu maju, saya yang malah frustrasi. Seperti butik multibrand luar negeri yang hadir belasan tahun lalu di Jakarta saat saya masih bekerja di sebuah majalah wanita.

Butik akbar yang ditata dengan gaya interior seperti sekarang ini, modern, sleek, dan minimalis, terpaksa tutup pintu karena gaya hidup masyarakatnya belum maju seperti sekarang. Labelnya belum populer di telinga mereka yang membeli. Padahal, label yang sama yang dahulu tak dikenal itu kini malah bercokol di salah satu mal. Terlalu maju salah, kelewat mundur salah. Makanya, untuk maju-mundur harus ada radarnya supaya tak berkeluh, ”Ah... capcai deh.”

Faktor kesenangan atau ketertarikan pada sesuatu juga tampak sangat berpengaruh untuk memiliki kemajuan. Saya tak suka gadget, saya tak bisa mengoperasi telepon genggam semaksimal fasilitas yang diberikan karena I’m not interested in that. Maka, kalau saya bertanya lepada seseorang yang tak tertarik dengan mode, mungkin mereka tak peduli. Bisa jadi saya lelah kalau yang tak peduli itu mulai peduli.

Jadi, mata saya harus terbuka bahwa memberi tahu—bukan gosip—adalah pekerjaan rumah saya. Saya harus membagikan sesuatu agar yang mendengar bisa bergerak ke tingkat lebih tinggi, dan tak mudah lelah. Maka, profesi guru ada di muka bumi ini untuk memberi tahu kepada saya sesuatu yang tak saya ketahui. Setelah itu saya diharapkan menyebarkan pengetahuan itu bak orang MLM.

Saya hanya membayangkan kalau para guru mengatakan, ”Capek, deh.” Dan itu, belum termasuk melayani mereka yang IQ-nya sama dengan saya. Seperti ayam tak punya otak.

Samuel MuliaPenulis mode dan gaya hidup

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com