Oleh Myrna Ratna
Naiklah kereta bawah tanah di Tokyo. Sepuluh tahun lalu, hampir sebagian besar penumpangnya, baik tua dan muda, tepekur membaca buku, majalah, surat kabar, dan komik. Kini yang ada di tangan mereka adalah handphone, i-pod, note-book. Inilah generasi paperless….
Datangnya era jurnalisme warga (citizen journalism) juga memaksa media tradisional mengubah pola pikir sebagai satu- satunya alternatif penyampai ”kebenaran”. Namun, tantangan terberat berikutnya adalah datangnya krisis ekonomi global. Bagi media cetak, harga kertas impor terus membubung, pemasukan iklan menurun drastis, dukungan distribusi semakin mahal, sementara sirkulasi umumnya stagnan, kalau tidak anjlok.
Bila dianalogikan dengan badai, inilah ”badai sempurna” (perfect storm) bagi industri media cetak ketika tiga gelombang menghantam sekaligus. Korban pun berguguran. Bangkrutnya sejumlah surat kabar besar di Amerika Serikat menjadi sinyal yang memilukan. Semua ini memunculkan pertanyaan, akan seperti apakah nasib media tradisional, khususnya media cetak Asia. Yang lebih penting lagi, akan seperti apakah wajah jurnalisme di masa depan.
Inilah salah satu topik hangat yang dibahas dalam Simposium Wartawan Asia yang berlangsung di Tokyo, 18 Maret lalu, yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri Jepang dan disponsori Televisi Publik NHK serta harian Yomiuri Shimbun. Simposium yang bertajuk ”Development of Fundamental Values and Journalism: Past, Present and Future, Achievements and Prospects of the Media”, itu dihadiri panelis dari India, Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia, dengan ketuanya Toshiyuki Sato dari Japan Broadcasting Corporation NHK, serta pembicara utama Dr Isami Takeda dari Universitas Dokkyo.
Di negara-negara Asia yang mayoritas penduduknya sudah akrab dengan teknologi tinggi, seperti Jepang dan Korea Selatan, kekhawatiran bahwa media cetak akan ditinggalkan mulai terasa. Terlebih di Jepang yang senantiasa berkiblat pada fenomena yang terjadi di Barat, walaupun sebetulnya tingkat sirkulasi media cetaknya sampai saat ini masih luar biasa. Oplah Yomiuri Shimbun misalnya, sekitar 10 juta eksemplar. Namun, menurut Editor Senior Yomiuri Shimbun Akira Fujino, saat ini pemasukan iklan untuk media-media cetak di Jepang umumnya turun 10-20 persen.
Meski demikian, masa depan media cetak di Asia tak bisa disimpulkan secara sederhana karena masing-masing negara memiliki kondisi sosial sekaligus perjalanan sejarah persnya yang unik. Di Indonesia, misalnya, tantangan industri pers sampai tahun 1998 adalah memperjuangkan kebebasan dirinya. Tonggak kebebasan itu ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Media ikut berperan dalam penetapan agenda-setting perjalanan demokrasi di Indonesia. Dan, menjaga apa yang telah diraih dalam proses reformasi, seperti: memberi peran yang lebih besar bagi masyarakat madani, mencegah militer kembali ke panggung politik, menjamin proses checks and balances di antara tiga pilar kekuasaan, menjunjung penegakan hukum dan penghormatan pada HAM—semua itu menjadi prioritas utama pers Indonesia.