Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Tergadai

Kompas.com - 16/06/2009, 02:59 WIB

Kami semakin teruk (susah). Gaji terus turun dan sekarang tinggal 300 ringgit (sekitar Rp 1 juta). Kalau tahu begini, sejak awal saya tak mau pergi ke Malaysia. Agen buat kami teruk,” ujar Elvida (28) di kawasan Kemuning, Shah Alam, Selangor, Malaysia, Senin (15/6).

Ia bekerja di pabrik elektronik sejak tiba di Pelabuhan Klang, 18 Desember 2007, menggunakan kapal kayu dari Tanjung Balai, Sumatera Utara. Elvida tak menyangka, ia berangkat lewat jalur ilegal walau sejak awal karyawan PT Rahmat Mandiri di Medan meyakinkan mereka akan bekerja secara resmi di Malaysia.

Setiba di Malaysia, Elvida dan ratusan TKI dari Medan langsung ditampung JR Joint, perusahaan pemasok pekerja asing untuk waktu tertentu (outsourcing). Penyesalan selalu datang belakangan. Elvida tertarik bekerja di Malaysia karena karyawan PT Rahmat Mandiri menjanjikan pekerjaan di pabrik elektronik bergaji 1.000 ringgit (sekitar Rp 3 juta) per bulan.

Tetapi siapa sangka janji manis agen pengirim kini bagai pil pahit yang ditelan. Pergi bekerja ke Malaysia ternyata tak semanis yang dibayangkan.

”Ada beberapa teman saya minta pindah ke kilang (pabrik) lain yang memberi gaji 700-800 ringgit per bulan dengan jam kerja 12 jam. Agen menolak dan mengancam memulangkan mereka. Tetapi mereka tak juga pulang ke Indonesia, malah hanya tinggal di mes karena tidak diberi pekerjaan,” ujar Elvida, asal Medan Tenggara, Kota Medan.

Saya bertemu dengan dia di Restoran Tar Sidomampir yang berlokasi di ujung tangga stasiun monorel Chow Kit, Kuala Lumpur, Sabtu (2/5) siang. Restoran yang menyediakan aneka masakan Indonesia boleh dikatakan menjadi tempat favorit WNI di Kuala Lumpur pada akhir pekan.

Mardiati (18) asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, juga bernasib serupa. Dia dan kakaknya, Supriani (23), terbang ke Kuala Lumpur lewat Denpasar memakai jasa PT Megah Griya Nugraha. Semula ada 11 orang dalam rombongan mereka, tetapi akhirnya hanya empat orang yang terbang ke Kuala Lumpur, Agustus 2008. JR Joint menempatkan Mardiati dan Supriani di pabrik JVC.

Saat krisis global menghantam, Supriani terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Agen lalu memindahkan Supriani dan beberapa rekannya menjadi penjaga gerai pusat perbelanjaan Mydin di Malaka. Mereka bekerja 14 jam sehari dengan gaji 300 ringgit per bulan.

JR Joint merupakan salah satu perusahaan pemasok pekerja asing (outsourcing) terbesar milik warga negara Banglades di Malaysia. JR Joint memasok TKI, pekerja asal Banglades, dan negara lain ke beberapa perusahaan di Malaysia.

Diskriminasi gaji

Ada sedikitnya 266 perusahaan outsourcing di Malaysia. Sebanyak 66 perusahaan di antaranya milik bekas pejabat yang dijalankan orang lain. Menurut Alex Ong dari Migrant CARE Malaysia, sedikitnya 70.000 TKI bekerja di Malaysia lewat perusahaan pemasok pekerja kontrak. ”Hampir 40 persen di antaranya kini bermasalah. Mereka juga menjadi korban diskriminasi gaji karena posisi TKI sangat lemah,” katanya.

Letak geografis yang berdekatan membuat Malaysia menjadi tujuan utama TKI. Saat ini sedikitnya 2,2 juta TKI bekerja di sana dan hanya 1,2 juta orang saja yang tercatat. Selebihnya bekerja ilegal sehingga rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.

Para TKI ilegal ini dieksploitasi bekerja lebih dari delapan jam sehari dengan upah rendah dan terkadang tanpa libur. Mereka menerima gaji 300 ringgit-450 ringgit (sekitar Rp 900.000-Rp 1,3 juta) per bulan.

”Kalau orang tempatan (lokal) yang bekerja seperti Supriani bisa bergaji minimal 700 ringgit (sekitar Rp 2,1 juta) per bulan. Bisa apa TKI? Mau telepon ke kampung pun tak bisa,” ujar Alex geram.

Posisi mereka pun lemah. Saat mereka menuntut dipulangkan, agen malah meminta ganti rugi sedikitnya 7.000 ringgit (Rp 21 juta) per orang tanpa bersedia membayar ongkos pulang TKI. Akhirnya, TKI pun terpuruk di asrama mereka karena kerap agen tak lagi memberi mereka pekerjaan.

Wakil Duta Besar RI untuk Malaysia Tatang B Razak mengungkapkan, persoalan yang kerap muncul selama krisis adalah perusahaan outsourcing memaksa korban PHK bertahan menunggu ditempatkan di perusahaan yang baru.

”Kami sudah memanggil perusahaan-perusahaan itu dan meminta mereka memperlakukan TKI yang bertahan dengan layak. Bagi TKI korban PHK yang mau pulang, perusahaan harus membiayai karena ini kondisi di luar kemauan pekerja,” kata Tatang.

Jenazah pun ditahan

Perjuangan TKI mendapat pekerjaan dan kesejahteraan yang layak memang tidak mudah. Sejak Yanti Iriyanti dihukum tembak karena dituduh mencuri dan membunuh majikannya di Arab Saudi, 11 Januari 2008, sampai kini keluarga belum menerima jenazah.

Suami Yanti, Sugino, dan kelima anaknya sangat ingin mengubur Yanti di dekat rumahnya di Cianjur, Jawa Barat.

”Neng Widi, selalu menanyakan kapan mamanya pulang? Ia kerap mengatakan, mengapa mama teman-temannya sudah pulang, tetapi mamanya kok hingga sekarang belum juga pulang,” ujar Sugino.

Demi aliran devisa puluhan triliun setiap tahun ke Tanah Air, TKI harus menggadaikan jiwa. Sayang, mereka belum juga mendapat perlindungan yang berarti.

(Hamzirwan/B Josie Susilo Hardianto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau