Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Film Indonesia Didikte Keberadaannya

Kompas.com - 17/07/2009, 05:33 WIB

Pengantar Redaksi:

Sutradara dan produser film Riri Riza yang bernama lengkap Muhammad Rivai Riza tampil dalam edisi ketiga Tokoh Pilihan dalam rubrik ”Kompas Kita”. Sutradara kelahiran Makassar, Oktober 1970, ini menjawab pertanyaan pembaca Kompas melalui e-mail. Di tengah kesibukannya melakukan pengambilan gambar Sang Pemimpi di Belitung, Riri menjawab 12 pertanyaan pembaca dan jawabannya bisa Anda baca di ”Kompas Kita” yang kini Anda pegang. Sedangkan jawaban lengkap Riri atas pertanyaan pembaca lainnya bisa Anda akses di http://kita.kompas.com. Pertanyaan untuk Riri datang dari sejumlah kota yang tersebar di Tanah Air, termasuk dari pembaca Kompas Okti Li-Nei yang tinggal di Taipei, Taiwan.

Bukan hanya pertanyaan yang muncul, tetapi tawaran untuk bekerja sama pun datang melalui rubrik ”Kompas Kita”, sebuah rubrik yang berciri interaktivitas. Salah satu tawaran kerja sama datang dari Hary Ananda, pembaca Kompas di Jakarta. ”Saya mempunyai cerita/ide tentang perjuangan sebuah keluarga untuk mencapai cita-cita, bisa atau tidak Mas Riri menuangkannya dalam sebuah film,” tulis Hary yang ditanggapi Riri, ”Bisa saja, saat ini saya selalu mencari cerita. Semoga cerita Anda segera dapat dipublikasikan hingga saya berkesempatan untuk membacanya.”

Riri berbicara soal perfilman Indonesia, karya-karyanya, industri perfilman, serta soal Festival Film Indonesia (FFI). Riri telah melahirkan sejumlah film, antara lain Petualangan Sherina (2000), Ada Apa Dengan Cinta (2002), Eliana, Eliana (2002), Gie (2005), dan Untuk Rena (2005).

Hingga edisinya yang ketiga, ”Kompas Kita” telah menerima usulan sejumlah tokoh—pemusik, penyanyi, olahragawan, politisi, maupun menteri—untuk dihadirkan di ”Kompas Kita”. Kami sedang berupaya menghubungi para tokoh tersebut untuk bisa berinteraksi dengan pembaca Kompas. Kami juga tetap menunggu usulan tokoh dari para pembaca melalui e-mail kompaskita@kompas.com.

Tentang Karya

 

Riri saya punya pertanyaan, apakah Anda tertarik membuat film G30S PKI versi baru yang netral dari segala bentuk intervensi? Bukan film G30S PKI versi pemerintah (Orde Baru) yang pernah kita saksikan beberapa tahun yang lalu. Sebastian Sarwidodo, Serpong, Tangerang

 

 

Saya tertarik. Saya pernah menyentuh persoalan sekitar sejarah peristiwa 1965 dalam film Gie. Dalam catatan hariannya, Gie mencatat situasi sosial politik masa itu dan menyumbangkan pemikiran dan sudut pandang yang sangat personal. Saya mulai membuat film di akhir era Orde Baru dan menikmati kebebasan pascareformasi. Reformasi telah membuka pintu bagi berbagai kemungkinan dalam memandang sejarah, termasuk persoalan 1965. Karena saya pembuat film, saya harus menemukan sebuah kisah seputar G30S yang tepat untuk sinema dan menarik untuk diceritakan dalam format film.

 

Bagaimana kalau Riri mengupayakan film perjuangan seperti perjuangan Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan tokoh pendiri bangsa lainnya. Agar generasi muda mengerti arti perjuangan dan tertanam semangat nasionalisme. Kisah hidup mereka di pengasingan menarik bagi saya, sangat berkarakter sinematik. Suatu hari saya akan membuat film berkisar pada hidup pengasingan salah satu dari ketiga ini. Jhon Rivel Purba Padang Bulan, Medan, Sumut

 

 

Terima kasih untuk apresiasi ini. Saya tertarik dengan cerita tokoh-tokoh ini dan saya terus mengumpulkan bahan serta informasi. Mereka adalah pendiri bangsa, orang yang sangat menginspirasi saya, dan pernah menjalani kehidupan pembuangan. Saya tertarik dengan kisah mereka yang harus hidup dalam pengasingan. Kalau saya suatu hari membuat film tentang tokoh yang Anda sebutkan ini, saya akan berfokus pada masa pengasingan mereka.

 

Selain Gie, adakah rencana membuat film tentang sejarah Indonesia? Kalau ada, sejarah tentang apa? Karena sayang sekali, penonton Indonesia sangat miskin pengetahuan sejarahnya. Yuniasari Shinta Dewi, Kebon Jeruk, Jakbar

 

 

Saat membuat Gie saya sedikit belajar tentang betapa beratnya tantangan membuat film sejarah. Dalam film sejarah, selain butuh riset cerita, kita juga butuh dana begitu besar dalam menciptakan visualisasi masa lalu. Hampir semua produksi film di Indonesia memiliki dana terbatas karena pasar atau distribusi film yang terbatas. Walaupun film Gie adalah salah satu film Indonesia termahal waktu itu, kami tetap harus bekerja ekstra keras untuk menyelesaikannya. Kalau saya bikin film tentang sejarah proklamasi atau kisah Sultan Hasanuddin, misalnya, mungkin lebih mudah. Tapi kalau saya tertarik dengan tokoh Tan Malaka atau Nyoto? Siapa yang ingin membiayai?

 

Menurut Anda sejauh apa pengaruh dunia perfilman kita terhadap dunia politik, kalau bisa buat suatu film yang bercerita tentang dunia politik khusus pada zaman Soeharto biar semua orang tahu sejarah. Juanda Gurning, Depok

Justru selama bertahun-tahun melalui kebijakan pemerintah Orde Baru yang melahirkan Undang-Undang Perfilman, film Indonesia diarahkan agar bersifat apolitis. Jika Anda membaca UU Perfilman tahun 1992 tersebut, film Indonesia didikte keberadaannya sesuai dengan keinginan pemerintah, bahkan dalam pandangan pribadi saya bertentangan dengan konstitusi kita. Karena pada dasarnya konstitusi kita melindungi kebebasan berekspresi. Soal sensor misalnya, dalam UU Perfilman, sensor film tidak hanya mengatur soal pornografi, tetapi juga aspek lain, termasuk politik. Nah, jika demikian sulit membayangkan film bisa menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi maupun ekspresi seni, hingga bisa menjadi agen perubahan. Karena film di Indonesia pada prinsipnya terkekang olah aturan yang adalah produk dari pemerintahan yang otoriter (Orde Baru Soeharto).

 

 

 

 

 

Tentang Film Indonesia

Apakah perfilman nasional saat ini telah sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pendahulu Anda, misalnya keinginan Bapak H Usmar Ismail yang menginginkan bahwa film juga digunakan sebagai alat untuk membentuk karakter bangsa? Yoseph Setiawan Cahyadi, Grogol, Jakarta Barat

 

Saya yakin Usmar Ismail bisa menangis jika melihat kondisi perfilman kita hari ini. Yang paling utama adalah karena bangsa ini menyia-nyiakan potensi yang begitu besar dari perfilman nasional seperti yang Anda katakan. Film bisa menjadi (salah satu) pembentuk karakter bangsa, ada film nasional yang ditonton (dan menyentuh hati) lima juta penonton di Indonesia, jika dibuat dengan baik dan mengandung pesan antikorupsi misalnya film bisa berperan penuh. Belum lagi kalau melihat potensi ekonominya.

 

Kenapa film Indonesia suka latah? Seperti film horor yang tak terhitung banyaknya. Sampai nek’ membaca judulnya saja. Kenapa tidak membuat film action? Setahu saya, film action Indonesia tidak pernah laku. Padahal Korsel, Hongkong, bahkan Thailand bisa membuat film action bermutu yang laku sampai ke luar negeri. Daniellh-Surabaya

 

 

Sebagian film Indonesia dibuat oleh pebisnis film, para pedagang. Adalah sifat umum dalam berdagang untuk melayani keinginan pasar.

 

 

 

 

Mas Riri termasuk sutradara yang amat menjunjung tinggi nilai tanggung jawab sosial dan sangat idealis dalam membuat sebuah film, pernahkah sewaktu Anda membuat film terkendala masalah sponsorship karena idealisme yang Anda tanamkan dalam film yang Anda buat bertentangan dengan ideologi sponsorship? Handika Rizki Rahardwipa Cipayung, Jakarta Timur

 

 

Saya beruntung karena film yang saya produksi hampir semua bebas dari tuntutan/pesanan orang lain, apalagi sponsor. Saya katakan beruntung karena tidak semua orang bisa menikmati kebebasan ini dan saya pahami kondisi para produser yang melakukan itu karena biaya serta risiko produksi film sangat tinggi. Sampai hari ini saya dan produser Mira Lesmana yang memproduksi film saya masih berprinsip untuk tidak memaksakan diri bekerja sama dengan sponsor, jadi saya tidak pernah mengalami kendala yang Anda maksud.

 

Sebagai sutradara yang memelopori bangkitnya perfilman di Indonesia dari tidur panjang, mengapa Riri memiliki pandangan yang kurang harmonis dengan Festiva;l Film Indonesia (FFI)? Heru Nugroho Lampung

Terima kasih untuk pujian yang sepertinya berlebihan untuk saya. Tentang FFI intinya saya tidak ingin kita (pembuat film) bergantung pada FFI untuk menentukan barometer kemajuan film Indonesia. Apalagi FFI adalah festival yang diselenggarakan oleh pemerintah dan biasanya bekerja sama penuh dengan stasiun televisi. Saya sering terganggu oleh acara tayangan FFI di televisi yang bertele-tele dan tidak spesial. Unik memang, kita menyebutnya Festival Film Indonesia, tapi acaranya selalu hanya pesta semalam. Walau demikian, saya menghargai sejarah dan tidak melupakan sejarah FFI, tapi tidak ingin romantis-romantisan dengan penyelenggaraan FFI. Kalau penyelenggaraan sedang baik, kita dukung, kalau sedang kurang baik, kita tidak ikut saja. Adalah kenyataan bahwa mengikuti FFI adalah sebuah sikap sukarela karena kita harus mendaftar sebagai peserta. Saya kadang tidak sempat mendaftar, tau-tau deadline pendaftaran sudah lewat. Di Indonesia telah eksis pula beberapa festival film lain, jadi mari kita rayakan keragaman. Semoga tahun ini saya tidak ketinggalan deadline FFI.

 

Tentang Kehidupan

 

Bagaimana pendapat Riri soal kawin cerai selebriti? FX Triyas Hadi Prihantoro Banyuanyar, Surakarta

 

 

Ha-ha-ha.... Saya tidak punya pendapat, itu urusan rumah tangga orang.

 

 

 

”Tanpa semangat dan mimpi - mimpi, orang seperti kita akan mati,” kata Arai, lalu apa dan bagaimana usaha Mas Riri Riza membangun mimpinya, sudah terwujudkah? Wendy Setiawan, Jakarta

 

Wendy, dalam kaitan dunia film mimpi dan semangat setiap hari adalah ingin membuat film yang baik dan bisa saya banggakan. Wah rasanya belum ”pol” sampai hari ini. Tapi sangat bersyukur kok. Saya bangga dengan film-film saya, berarti sebagian dari mimpi sudah tercapai. Terima kasih, Wendi. Mimpi yang lebih besar adalah menjadi orangtua yang baik, bapak yang baik, manusia yang lebih baik saja.

 

 

 

Saya siswi SMA dan tertarik dengan dunia film. Apa Kak Riri punya panutan negara yang memproduksi film berkualitas? Seperti Korea yang banyak bernuansa romantis, Jepang dengan cerita yang dapat mengajak penonton berpikir, Thailand dengan horor, Hongkong/Amerika dengan action? Aliffia, Tasikmalaya

 

 

 

Semua negara yang Aliffia sebut sangat menarik. Tapi saya bangga juga dengan film Indonesia. Kita pertama kali membuat film penting dengan identitas Indonesia yang kuat pada tahun 1951 (Usmar Ismail, Darah dan Doa). Film kita ada juga yang romantis, ada juga yang serius dan intelektual, ada juga pembuat film yang spesialis menang di festival Internasional, dan ada juga film horor yang bisa membuat kita tertawa atau komedi yang membuat kita marah. Saya pikir film Indonesia cukup lengkap dan beragam.

Kalau panutan saya adalah sutradara Wim Wenders dari Jerman, Spike Lee dari Amerika, Yazujiro Ozu dari Jepang, dan Satyajit Ray dari India.

 

 

Tentang Industri

 

Saya ingin mengetahui bagaimana saran yang terbaik untuk membangun PH yang besar, seperti Miles Production. Terus apa pernah ada impian untuk membangun ”kota film” di Indonesia seperti di Vancouver (Kanada), LA (AS), Mumbai (India)? Kira-kira kendala apa yang mungkin kita hadapi untuk membangun industri film besar dan hebat? Bhratyadhikara Pradhana, Jakarta Selatan

 

 

Impian membangun Kota Industri Film sepertinya terlalu besar. Karena kami adalah pembuat film. Bukan industrialis seperti yang Dhana bicarakan. Kami pada prinsipnya adalah pencerita yang membuat film selain sebagai sebuah kerja, juga sebagai hobi dan kesenangan. Miles Production adalah perusahaan kecil jika dibandingkan dengan PH lain. Kami kantor saja masih ngontrak, ha-ha-ha. Tapi minimal Miles selalu berusaha mengerjakan film-film yang betul-betul bermakna, bagi kami sendiri terutama. Dan selalu berusaha mandiri dalam setiap langkah produksinya. Semoga Dhana bisa menangkap jawaban dari pernyataan ini. Kendala utama berkembang menjadi industri adalah distribusi film yang masih terbatas. Di Indonesia hanya ada 600 layar bioskop yang harus dibagi dengan hampir 200 film impor dan hampir 100 film lokal. Selain itu juga masalah pendidikan, sejak 1970 hingga kini, hanya ada satu sekolah film di Indonesia. Bandingkan dengan kota-kota yang Anda sebutkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com