Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nungki, Bergerilya untuk Seni Tari

Kompas.com - 19/07/2009, 03:27 WIB

Ilham Khoiri

Nungki Kusumastuti (50), perempuan ayu ini, menjadi salah satu bagian menarik dari perkembangan seni pertunjukan di Indonesia. Setelah tampil sebagai penari pada banyak pentas internasional, jadi dosen, dan peneliti di perguruan tinggi, kini dia menekuni peran lain: sebagai gerilyawan pendorong seni pertunjukan.

”Saya senang bekerja menggerakkan gairah seni pertunjukan di kalangan anak muda,” katanya, Kamis (16/7) pagi itu.

Kami berbincang sambil minum kopi dengan Nungki, begitu sapaan akrab perempuan bernama lengkap Siti Nurchaerani Kusumastuti itu di kawasan Senayan, Jakarta Selatan. Dalam usia melewati kepala lima, dia masih tampak bugar dan sumringah. Saat ngobrol, dia kadang memainkan rambut hitam-panjang-ikalnya.

Kembali ke soal gerilya. Apa yang dilakoni Nungki tentu tak ada hubungannya dengan pertempuran berdarah-darah di hutan belantara, katakanlah seperti dijalani Che Guevara di Kuba dan Bolivia. Namun, sebagaimana gerilya, perempuan ini juga punya daya juang untuk menyelenggarakan festival seni pertunjukan dan mendorong tampilnya kaum muda. Meski berhabitat di tengah ingar-bingar kehidupan urban, toh perjuangan juga penuh tantangan.

Apa yang telah dicapai Nungki?

Bersama Sal Murgiyanto, Ina Suryadewi, dan Maria Darmaningsih, Nungki menggagas dan menyelenggarakan Indonesian Dance Festival (IDF), festival tari internasional di Indonesia sejak tahun 1992 dan bertahan sampai sekarang. Selama 16 tahun itu puluhan kelompok atau penari solo tampil. Bagi dunia seni pertunjukan dengan peminat dan donatur terbatas, prestasi itu membanggakan.

Sejak tahun 2004-2008, Nungki dipercaya menjadi Direktur IDF. Lewat festival dua tahunan itu, beberapa penari muda Indonesia merintis atau mematangkan kreativitasnya. Sejumlah penari asing manggung dan ditonton di Tanah Air. Tak berlebihan jika kemudian Museum Rekor Indonesia (Muri) merasa perlu memberi penghargaan bagi IDF sebagai festival tari internasional yang bisa bertahan lama.

Perempuan ini juga aktif mendorong seni pertunjukan di kalangan siswa sekolah, bersama beberapa seniman, seperti Ratna Riantiarno. Dia ikut menggagas dan menjadi ketua bidang program Forum Apresiasi Seni Pertunjukan ke Sekolah sejak 1998 sampai sekarang. Forum ini sudah menggelar pentas seni di 400 sekolah lebih.

Dia juga dipercaya menjadi pemimpin produksi, humas, dan pendanaan pertunjukan kelompok tari Padneswara pimpinan Retno Maruti sejak tahun 1997 sampai 2004. Kelompok ini termasuk salah satu grup tari yang cukup ajek berkarya dan mementaskan karya tari, terutama tari Jawa klasik.

Membahagiakan

”Bahagia rasanya bisa menjadi bagian dari seni pertunjukan, bisa bermanfaat buat adik-adik saya,” kata Nungki mengomentari kiprahnya di balik panggung.

Hanya saja, kebahagiaan itu ternyata penuh pergulatan yang kerap menyulitkan. Saat menyelenggarakan IDF pertama, misalnya, Nungki dan panitia harus merogoh kocek sendiri untuk urunan modal awal. Mereka juga harus memperkenalkan diri, bahkan seperti mengemis pada para donatur lokal dan funding asing.

”Ketika IDF sudah berjalan beberapa tahun dan mulai dikenal, kami masih berjibaku cari uang. Saat kepepet, saya sering menangis. Tapi, kemudian bangkit lagi,” ujarnya bersemangat.

Ketika menyodorkan program apresiasi seni, dia juga kerap mendapat batu sandungan. ”Banyak sekolah yang menolak kami karena menganggap seni tak penting. Biasanya mereka luluh setelah melihat fakta, siswa yang aktif berkesenian justru punya daya imajinasi bagus.”

Selain semangat dan komitmen, Nungki bisa melakoni semua kegiatan itu lantaran memang punya penampilan menarik, pembawaan luwes, dan gaya komunikasi lembut. Popularitasnya sebagai pemain film dan sinetron juga cukup membantu. Namun, yang lebih menentukan, pendekatan pribadi yang lebih manusiawi.

”Saya pernah telepon sampai 20 kali lebih ke perusahaan, tetapi tak dapat tanggapan. Setelah datang dan menemui pimpinannya langsung, ternyata mereka merespons sangat baik,” katanya.

Kenapa ngotot memperjuangkan seni pertunjukan, Mbak?

”Tak sekadar klangenan untuk menghidupkan tradisi, seni pertunjukan juga menanamkan identitas bagi sebuah bangsa. Seni mengajak kita untuk merenungkan kenyataan sekaligus menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan yang tergerus zaman.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com