Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jazz "Kumaha Aing" (Semau Gue)

Kompas.com - 06/12/2009, 06:55 WIB

Ardus M Sawega dan Budi Suwarna

KOMPAS.com - Kota Solo mempunyai ”gawe” Solo City Jazz pada tanggal 4-5 Desember ini. Bandung menggelar Bandung World Jazz Festival pada 3-4 Desember. Orang-orang kreatif di kota itu mencoba mendialogkan jazz dengan berbagai unsur budaya. Muncullah kemudian sebutan world jazz. Malah ada ”urang” Bandung bilang ”jazz kumaha aing”—terserah gue.

It’s not only jazz, it’s world jazz”. Tulisan itu terpampang di latar belakang panggung utama Bandung World Jazz (BWJ) 2009 di Gedung Sabuga, ITB, Bandung pada 3-4 Desember 2009. Tulisan itu seolah ingin menegaskan bahwa BWJ bukan festival jazz biasa. Dengan tema ”Voice of the New World” atau suara dari dunia baru, festival yang diprakarsai Jendela Ide—sebuah ruang kreatif di Bandung —itu memang membuka diri terhadap ekspresi musik apa pun, termasuk musik etnik

Kamis (3/12) malam, misalnya, Karinding Collaborative Project dari Bandung mengolaborasikan instrumen

musik lokal seperti karinding (semacam alat musik dari bambu yang dimainkan bersama), taliwangsa, gendang, dan kecapi dengan bas, gitar, drum, dan keyboard. Karinding juga dimainkan oleh kelompok Sunda Underground. Grup ini sama sekali tidak memainkan musik underground. Ada pula Taal Tantra dari India yang memadukan bunyi kemeretak tabla, dengungan gong, lengkingan gitar listrik, bas, dan saksofon.

Semangat di Solo City Jazz kurang lebih sama. Perhelatan yang digelar di pelataran Pasar Windujenar, Ngarsapura, itu antara lain menampilkan I Wayan Sadra bersama Sono Seni Ensemble dari Solo, yang mengeksplorasi berbagai instrumen dan elemen musik etnik. Mereka menampilkan nomor-nomor yang nyaris tidak bisa dikenali ”jazz”-nya, kecuali dari bas elektrik, terompet, dan saksofonnya.

”Kami memang tidak main jazz. Mereka mau sebut apa ya terserah ha-ha...,” kata Sadra yang juga diundang tampil BWJ.

Nomor-nomor yang disajikan Sadra dan kawan-kawan antara lain lagu Madura atau Makassar yang mengeksplorasi vokal penyanyi perempuan yang melengking dan terdengar mistis.

”Jazz sekarang memang bukan lagi refleksi sosial kelompok atas, melainkan berubah menjadi forum demokratis di mana setiap orang boleh tampil. Jazz menjadi musik pembebasan, musik yang sangat terbuka pada dialog,” kata Djaelani, Fasilitator Musik di Jendela Ide.

”Kalau ada yang tanya apa definisi jazz di BWJ, kami menyebutnya jazz kumaha aing, jazz terserah gue,” kata Andar Manik, Koordinator Umum BWJ.

Jazz walangkekek

Seandainya Charlie Parkir dan Dizzy Gillespie itu orang Sunda, pasti mereka akan menyebut gerakan jazz bebop di eara 1940-an sebagai jazz kumaha aing. Bebop yang menjadi dasar jazz modern pada awalnya terdengar aneh di telinga legenda jazz sekaliber Louis Armstrong yang menyebut bebop sebagai seperti chinese music, aneh-aneh.

Jazz memang terlahir untuk terus berubah. Miles Davis (1926-1991) yang pernah mendukung gerakan bebop belakangan pada awal 1950-an ia memelopori cool jazz. Dan, menjelang akhir hayat di tahun 1991, Miles main dengan kelompok hip hop. ”Petuah” Miles yang paling terkenal, ”Jazz itu memang harus berubah, kalau tak mau berubah, silakan main di museum.”

BWJ menurut Andar Manik memberi peluang seluas-luasnya bagi musisi untuk melakukan perubahan sebebas-bebasnya. Maka, di festival itu hadirlah musisi yang menggabungkan instrumen lokal toleot dan toleat, semacam seruling yang digunakan pada tarling Cirebon. Toleot dikolaborasikan dengan instrumen standar, seperti gitar, bas, dan keyboard.

”Hasilnya ternyata enak didengar seperti swing, tetapi swing gaya Cirebon ha-ha...,” kata Andar Manik.

Di Solo, kelompok Akordeon menyajikan permainan tiga bas elektrik sekaligus dan

memadukannya dengan permainan kendang dan rebab dari karawitan Jawa, ditambah vokal pesinden Sruti Respati. Mereka antara lain membawakan lagu ”Walangkekek” yang pernah dipopulerkan oleh Mbakyu Waldjinah.

Sementara Donny Suhendra Project menampilkan vokal Ivan Nestorman yang membawakan lagu Jawa dan Flores dalam gaya reggae. Penyanyi asal Manggarai, Flores, NTT, ini membawakan lagu ”Life Goes On” yang diterjemahkan dalam bahasa Jawa ”Ora Usah Melayu”. ”Orang Solo bilang ini unik, ada orang Flores nyanyi dalam bahasa Jawa. Mereka kira saya nyanyi dalam bahasa Spanyol,” kata Ivan.

Solo City Jazz dan BWJ tampaknya memang menggunakan pendekatan berbeda dengan festival jazz yang sudah mapan. Peluang untuk melakukan perubahan dan mendialogkan jazz dengan budaya setempat mendapa tempat sangat terbuka.

Selain itu, mereka juga melibatkan komunitas. ”Pendekatan kami komunitas, bukan industri. Jadi, tujuan kami bukan mencari profit, tetapi memperkuat komunitas,” katanya.

BWJ digerakkan oleh komunitas seniman yang ada di Bandung, sebagian adalah para seniman yang biasa malang melintang di kegiatan musik underground. Solo City Jazz yang dimotori C-Pro juga didukung oleh komunitas penikmat jazz Solo Jazz Society yang mulai tumbuh belakangan.

Nah, dengan begitu, jazz telah dikembalikan kepada penikmatnya, bukan pemilik modal. (XAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com