Ardus M Sawega dan Budi Suwarna
KOMPAS.com - Kota Solo mempunyai ”gawe” Solo City Jazz pada tanggal 4-5 Desember ini. Bandung menggelar Bandung World Jazz Festival pada 3-4 Desember. Orang-orang kreatif di kota itu mencoba mendialogkan jazz dengan berbagai unsur budaya. Muncullah kemudian sebutan world jazz. Malah ada ”urang” Bandung bilang ”jazz kumaha aing”—terserah gue. Kamis (3/12) malam, misalnya, Karinding Collaborative Project dari Bandung mengolaborasikan instrumen musik lokal seperti karinding (semacam alat musik dari bambu yang dimainkan bersama), taliwangsa, gendang, dan kecapi dengan bas, gitar, drum, dan keyboard. Karinding juga dimainkan oleh kelompok Sunda Underground. Grup ini sama sekali tidak memainkan musik underground. Ada pula Taal Tantra dari India yang memadukan bunyi kemeretak tabla, dengungan gong, lengkingan gitar listrik, bas, dan saksofon. Semangat di Solo City Jazz kurang lebih sama. Perhelatan yang digelar di pelataran Pasar Windujenar, Ngarsapura, itu antara lain menampilkan I Wayan Sadra bersama Sono Seni Ensemble dari Solo, yang mengeksplorasi berbagai instrumen dan elemen musik etnik. Mereka menampilkan nomor-nomor yang nyaris tidak bisa dikenali ”jazz”-nya, kecuali dari bas elektrik, terompet, dan saksofonnya. ”Kami memang tidak main jazz. Mereka mau sebut apa ya terserah ha-ha...,” kata Sadra yang juga diundang tampil BWJ. Nomor-nomor yang disajikan Sadra dan kawan-kawan antara lain lagu Madura atau Makassar yang mengeksplorasi vokal penyanyi perempuan yang melengking dan terdengar mistis. ”Jazz sekarang memang bukan lagi refleksi sosial kelompok atas, melainkan berubah menjadi forum demokratis di mana setiap orang boleh tampil. Jazz menjadi musik pembebasan, musik yang sangat terbuka pada dialog,” kata Djaelani, Fasilitator Musik di Jendela Ide. ”Kalau ada yang tanya apa definisi jazz di BWJ, kami menyebutnya jazz kumaha aing, jazz terserah gue,” kata Andar Manik, Koordinator Umum BWJ.