Setelah menunggu 18 tahun, Tio Pakusadewo (46) mendapatkan Piala Citra kedua sebagai pemeran utama pria terbaik pada malam anugerah Festival Film Indonesia, 16 Desember 2009. Di tengah kegembiraan itu dan makin meriahnya industri perfilman nasional, Tio bicara soal persiapan seorang aktor, penurunan mutu cerita film Indonesia, dan perlunya pendidikan film di negeri ini.
Piala Citra kedua ini ia peroleh melalui permainannya memerankan tokoh Adam dalam film Identitas karya sutradara Aria Kusumadewa. Sebelumnya, Tio meraih Piala Citra untuk kategori sama dalam FFI 1991 untuk film Lagu untuk Seruni (1991). Ia beperan sebagai Aria, seorang komponis idealis di film garapan sutradara Labbes Widar itu.
Di Identitas, peran yang dimainkan Tio adalah seorang penjaga kamar mayat. Ia mengaku tokoh Adam yang tampil di film adalah hasil pengembangannya sendiri dari karakter yang ada di skenario asli. ”Saya menawarkan sosok Adam yang berbeda. Secara fisik, gesture, cara berpikir, dan karakter yang berbeda sehingga ekspresinya juga beda. Saya coba bangun karakter ini dari awal dan didukung oleh sutradara,” kata Tio di rumahnya di bilangan Ampera, Jakarta Selatan, hari Rabu (6/1).
Salah satu yang dilakukan Tio adalah merekayasa tampilan fisik sosok Adam, yakni dengan memberi gigi tonggos dan memakai kacamata tebal. ”Sebagai penjaga kamar mayat, ekspresi wajahnya tidak boleh sama dengan orang kebanyakan. Sosoknya harus unik,” tuturnya.
Menginterpretasikan sendiri tampilan karakter yang ia mainkan memang biasa dilakukan Tio. Seperti saat ini, ia sedang bersiap bermain dalam film terbaru Deddy Mizwar, berjudul Alangkah Lucunya Negeri Kami. Tio kebagian peran sebagai seorang raja copet.
Meski tidak dijelaskan di skenario, Tio membayangkan sejarah seorang raja copet pasti pernah tertangkap dan dipukuli banyak orang. Itu sebabnya, ia menawarkan sosok raja copet ini tangannya agak cacat, kiting, dan matanya sipit sebelah. ”Saya biasa menegosiasikan peran, tidak melulu mengikuti script,” tandas Tio.
Hampir semua make up yang diperlukan untuk mengubah tampilan wajahnya itu dikerjakan sendiri oleh Tio, misalnya memesan gigi palsu tonggos untuk tokoh Adam maupun menyipitkan mata dengan plester. ”Saya belajar itu dari dunia lukisan. Satu titik saja bergeser dari tempatnya, terutama di bagian mata, udah jadi orang lain,” ungkap penggemar Salvador Dali, yang menekuni hobi melukis lima tahun belakangan.
Memahami make up, lanjut Tio, hanya salah satu syarat yang harus dimiliki seorang aktor film yang baik. Seorang aktor bahkan diharuskan ”meling” atau ”melek lingkungan”, yakni sadar bahwa keterlibatan seseorang dalam produksi film itu melibatkan banyak pihak.
Seorang aktor harus menyadari, misalnya, fungsi dan perbedaan antara sutradara dan asisten sutradara. Kemampuan seorang aktor di film juga sangat dipengaruhi oleh editing, lighting, suara, musik, sudut kamera, lawan main, kostum, dan banyak lagi unsur lain.
”Jadi harus sadar bahwa keaktoran dalam film itu didukung oleh sekian banyak unsur, dan semua unsur itu harus dipahami supaya bisa bersinergi. Harus paham dasar-dasar editing, kamera, dan sebagainya. Terus soal tepat waktu, bagaimana seandainya dia melalaikan waktu akan merepotkan semua,” tandasnya.
Soal tepat waktu ini, Tio punya kenangan tersendiri. Waktu bermain dalam film Adikku Kekasihku (1989), ia pernah ditampar oleh sutradaranya, Wim Umboh almarhum, gara-gara terlambat tiba di lokasi shooting. ”Saya telat 10 menit. Langsung dipanggil, ditanya apakah sudah tahu kesalahan saya, terus ditampar di pipi 11 kali. Sejak saat itu saya tidak pernah lagi telat,” kenang pengidola Bing Slamet dan Bruce Lee ini.
Ilmu-ilmu dasar akting itu akan dituangkan dalam buku yang sedang disusun Tio dan kurikulum sekolah akting miliknya, Satoe Acting Atelier, yang akan dibuka Februari mendatang di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Tio mengatakan, buku dan sekolahnya ini benar-benar berisi ilmu akting khusus untuk film sehingga setelah tiga bulan kursus, lulusannya benar-benar siap pakai untuk produksi film/sinetron. ”Saya mencoba membuat metode sendiri, di mana seseorang bisa mencapai keaktoran dalam taraf tertentu, tidak perlu melakukan pelatihan seberat di teater,” tutur Tio, yang mengaku prihatin melihat kualitas sinetron zaman sekarang.
Begini, selama ini, hampir semua buku dan referensi soal akting yang saya baca selalu menarik dasar-dasar akting ke teater. Kebanyakan buku mengatakan akting di teater dan film atau televisi itu sama saja. Kalau menurut saya tidak sama.
Tentu saja dasar-dasar akting dalam berteater itu perlu diketahui, tetapi metode pelatihan (dalam teater) tidak perlu semuanya dilakukan sebab kebutuhannya berbeda. Untuk berakting di film, harus memakai metode baru. Dalam bahasa saya, ya, memakai Metode Tio.
Di teater, ekspresi di panggung sangat perlu dieksplorasi karena ada jarak antara panggung dan penonton. Sementara kalau di film, setiap titik itu ditangkap oleh kamera, sekecil apa pun.
Di teater, kenapa latihannya sekian lama dan harus mencapai kristalisasi akting yang luar biasa, karena dia tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun saat sudah di atas panggung. Konsistensinya luar biasa. Di film kan tidak. Kalau salah tinggal diulang.
Di film, musuhnya aktor itu kamera, karena gerak sedikit saja itu sudah menentukan arti. Hal-hal kayak gitu yang akan saya coba ajarkan. Ada bab soal sadar frame dalam buku saya itu. Ekspresi aktor saat di-close up, misalnya, akan memberi arti tersendiri. Kalau di teater kan tidak ada close up.
Untuk menjadi aktor, orang itu harus becermin dulu. Lihat dulu ke diri sendiri, digali dulu, kasih kuesioner kepada diri sendiri. Kira-kira mampu enggak saya mencapai keaktoran? Artinya dia harus tahu diri dulu, cukup cerdaskah dia untuk mengetahui kelebihan dan kekurangannya? Modal paling utama harus cerdas. Sebab kalau kurang-kurang, ya, jangan mimpi dulu, sebab akan merepotkan yang lain. Betul enggak?
Banyak sekali yang tolol. Ada ekspresi tolol yang diucapkan, dia biarkan saja. Kalau hal-hal seperti itu dibiarkan, ya sutradaranya tolol juga. Di sinetron, (adegan konyol) yang paling sering terlihat, misalnya kita sudah tahu apa yang terjadi, tetapi ditambahi suara monolog yang seperti suara dalam hati itu. Aduh, itu paling sering dibuat dan diulang, dan itu pembodohan yang sangat luar biasa.
Content. Isi cerita. Secara teknologi tentu sekarang lebih maju. Hardware dan fasilitas sudah jauh lebih keren dibanding dulu. Tetapi konteks ceritanya jauh. Yang sekarang enggak ada apa-apanya. Jadi, tidak membumi, tidak mengindonesia. Terjadi pergeseran kultur, film-film (sekarang) itu kehilangan identitas kulturalnya.
Yang sekarang diangkat (ke dalam film) lebih ke persoalan individual atau kelompok, bukan persoalan semua orang. Jadinya tidak bisa dinikmati seluruh keluarga. Kalau dulu, filmnya Teguh Karya, seperti Di Balik Kelambu (1982) atau Secangkir Kopi Pahit (1984), ceritanya bisa dinikmati seluruh keluarga. Tetapi kalau sekarang, apa sih film Indonesia itu? Yang bisa menikmati cuma segelintir.
Tetapi, saya rasa itu masalah umum. Seperti di dunia musik kan enggak ada lagi kita dengar musik dengan syair lagu sebagus zaman dulu. Mungkin sedang terjadi pengucilan yang kita tidak sadari terjadi di semua tempat. (Sekarang ini) dibutuhkan orang-orang yang mau berjibaku untuk mengembalikan identitas bangsa ini supaya tidak luntur.
O, bukan berarti tidak ada. Tetap ada hal-hal yang masih baik itu, tetapi mostly hilang. Sekarang ini jarang sekali saya menemukan pembuat cerita atau penulis skenario yang baik. Baik itu maksudnya ada gunanya buat banyak orang kalau disajikan ke masyarakat umum. Kalau tak ada gunanya buat apa? Nah, sekarang ini banyak sekali yang tidak banyak gunanya. Nafsunya cuma mau bikin film, nafsu bikin untung, nafsu pengin terkenal. Film kan yang penting message-nya, mau menyampaikan apa.
Akting yang bagus itu yang tidak akting. Kata act itu kan maknanya bukan yang sesungguhnya. Jadi kalau bisa akting seperti tidak berakting, berarti dia bisa berakting seperti yang sesungguhnya. Yang natural.
Kalau saya bikin pembedaan, ada seni akting, ada seni peran. Kalau akting dibutuhkan di teater. Kalau pemeranan, dibutuhkan di film. Saya rasa itu beda. Di festival-festival (film) pun tidak ada aktor terbaik, yang ada pemeran utama terbaik. Itulah yang saya tawarkan di sekolah saya itu, pemeranan secara natural, bukan akting. Bukan yang dibuat-buat.