Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Duh, Ariel...!

Kompas.com - 02/07/2010, 01:55 WIB

Cerpen: Viky Dewayani

Di luar, hujan gerimis masih terus turun membasahi jalanan. Terdengar deru mobil yang hingar bingar memasuki halaman. Tanpa harus mengintip, aku sudah tahu siapa yang datang. Ariel! Ya betul, aku sudah kenal sekali bunyi gaduh yang ditimbulkan oleh mobilnya, yang telah dimodifikasi sedemikian rupa. Supaya keren katanya menjelaskan, ketika saat itu keningku mengernyit heran kala pertama kali melihatnya. Menurutku sih malah jadi aneh. Mobil yang semula rapi, mulus dan bagus kok justru dibuat menjadi serupa mobil perang. Tapi ya begitulah Ariel.

Ariel sudah menjadi temanku sejak kami sama-sama duduk di bangku SMP. Kebetulan pula rumah kami berdekatan. Dia itu suka jahil dan lebih sering membuatku dongkol dengan sikap-sikapnya yang suka seenaknya. Selebor dan slengekan, istilah anak sekarang. Namun herannya, walaupun sering bersikap menyebalkan, tapi ternyata dia itu ngangenin juga. Terkadang aku malah merasa kehilangan kalau dalam beberapa hari tiba-tiba dia menghilang, tidak menelepon atau datang berkunjung ke butikku.

“Eits, lagi nggambar atau ngapain sih, kok bengong gitu lo?” teguran Ariel membuyarkan lamunanku. Aku hanya nyengir menanggapinya, kemudian celingukan melihat dengan siapa lagi dia datang. Ariel duduk santai di sofa kecil, di samping meja kerjaku. “Nape lo ngeliatin gue kaya gitu?” tanyanya sambil menatapku. “Enggak papa. Cuma penasaran aja tadi. Sama siapa lo? Sendiri?” balasku. Ariel mengangguk tak acuh. Dicomotnya kue coklat di atas piring kecil yang terhidang di atas mejaku. “Kirain lo bawa siapa lagi buat dikenalin”, kataku sambil mengerling kepadanya.

Ucapanku bukan tanpa alasan, tetapi memang didasari rasa heran sekaligus penasaran saja. Aku tidak habis mengerti, bagaimana bisa dia membagi hati kepada beberapa wanita sekaligus dalam satu kurun waktu kehidupannya. Dua tahun lalu, saat Ariel datang kepadaku menyampaikan kabar bahwa dia telah memutuskan untuk menikahi Diba, aku sempat merasa lega. Oh, akhirnya petualangannya mencari cinta telah berakhir. Bukan apa-apa. Aku tahu persis, Diba itu adalah wanita kesekian yang sudah dipacarinya. Ariel memang kerap gonta ganti pacar.

Aku mencoba berpikir secara positif saja dan memilih untuk tidak menghakiminya. Menurutku saat itu sikapnya masih wajar-wajar saja. Dia masih muda, pintar dan berasal dari keluarga yang berkecukupan. Maka kuanggap kelakuannya itu sebagai usahanya untuk mencari yang terbaik, sebelum menentukan pilihan akhirnya.

Namun serentak pandanganku terhadapnya berubah, ketika setelah menikah, ternyata petualangan cintanya tidak juga berakhir. Bahkan semakin menjadi-jadi! Beberapa bulan setelah Diba melahirkan anak pertama, buah cinta mereka, Ariel datang kepadaku, mengenalkan seorang wanita. Namanya Inge. Wanita ini merupakan mantan teman kerjanya di sebuah bank, sebelum Ariel keluar dan bekerja mengelola perusahaan milik keluarganya sampai sekarang. How come?

Belum usai rasa heran menderaku, beberapa bulan kemudian Ariel sudah muncul lagi di hadapanku, membawa seorang wanita lain. Kali ini aku tidak sempat mencatat dengan baik jati diri wanita tersebut, karena hanya berselang beberapa minggu, Ariel hadir mempertontonkan kemesraannya yang lain dengan sosok wanita baru. Alamak! Yang benar-benar membuatku takjub adalah penjelasan yang diberikannya kepadaku, saat kulayangkan sebuah pertanyaan “Kok udah ganti lagi? Dikemanain yang kemarin?” “Masih ada. Ini cewek gue yang ketiga. Namanya Melissa. Cantik gak menurut lo?” jawabnya santai. Aku terperangah. Ya ampun, bagaimana mungkin ada tiga orang pacar sekaligus satu orang istri menempati sisi-sisi ruang hatinya dalam waktu yang bersamaan. “Hah? Gak salah denger tuh gue?” balasku setengah menjerit. Ariel cuma cengengesan dan memilih untuk tidak menjawab. Aku bukan saja merasa heran, tapi naluri kewanitaanku mulai tersentuh perih. Miris melihat kelakuannya. “Ya ampun Riel, apa sih yang lo cari?” tanyaku lagi. Ariel lagi-lagi hanya mengangkat bahu tak acuh, sambil tersenyum geli melihatku. Menyebalkan! “Terus mereka, cewek-cewek itu, saling kenal dan tau satu sama lain?” tanyaku penasaran. “Ya enggaklah. Gila apa?” jawabnya dengan wajah mengkal. “Jadi sama aja lo bohongin mereka semua dong?” balasku tidak kalah sengit. Lagi-lagi dia hanya mengangkat pundaknya tak acuh. “Ah, gue gak  merasa ngebohongin mereka kok”. “Terus si Inge, Melissa sama siapa tuh namanya yang satu lagi, mereka tau lo udah merit?”

Ariel mengangguk mantap. Kutepuk dahiku dengan rasa heran yang berkepanjangan. Kuperhatikan wajahnya dengan pandangan ganjil. Ariel memang tidak bisa dikategorikan jelek, tapi kalau dibilang cakep, ya masih banyak lelaki lain yang jauh lebih tampan darinya. Postur tubuhnyapun tidaklah istimewa. Tingginya sedang-sedang saja. Namun demikian, aku tidak dapat memungkiri, bahwa ada sesuatu yang lain di dalam dirinya, yang menyebabkan dia terlihat menarik dan tidak membosankan. Entah apa. Mungkin itu yang dinamakan karisma.

Seperti kukatakan tadi, sikapnya yang sering tampak tak acuh dan suka seenaknya itu, terkadang mungkin justru membuat para wanita jatuh hati padanya. Ada ungkapan yang mengatakan: girls are hard to resist a naughty boy. Cewek-cewek itu justru akan lebih merasa tertantang untuk merebut dan menaklukkan hati lelaki seperti Ariel, daripada lelaki pendiam dan yang sikapnya baik-baik saja. Ajaib tapi nyata! “Gimana caranya lo ngatur kencan sama tiga cewek sekaligus, terus masih ada satu istri pula?” aku masih terus memberondongnya ingin tahu. “Hehehe…. Gue gitu loh”, sahut Ariel sambil menepuk dadanya. “Dulu, sebelum lo merit, walaupun lo punya banyak cewek, gue masih bisa nerima sikap lo. Karena lo enggak pernah macarin cewek-cewek itu sekaligus dalam waktu yang sama. Tapi kenapa setelah merit, kok lo malah ngelakuin hal itu sih?” tanyaku penasaran. “Pertanyaan lo susah banget sih, Deb? Kaya ujian buat ngelamar jadi pegawai negeri kali ya?” jawab Ariel asal. “Riel, emang nggak ada perasaan bersalah di dalam hati lo, sedikiiit aja, terutama terhadap istri lo?” tanyaku lagi, hati-hati. Ariel memandangiku dengan wajah ganjil. Mata kami saling bersitatap. Dalam. “Deb, gue ini sohib lo dari kecil. Gue harap lo bisa jaga rahasia ini buat lo sendiri ya?” kata Ariel serius, tanpa menjawab pertanyaanku sebelumnya.

Aku tersenyum tipis. “Yaelah, maksud lo gue bakalan nyeritain ke Diba? Kalau untuk urusan gini, lo tau gue kan, gak bakalan usil dan comel ke sana sini. Maleslah. Walaupun sejujurnya, gue gak setuju sama kelakuan lo itu”. “Good”. Ariel mengacungkan jempolnya sambil tersenyum. “Gue juga gak tau, Deb. Apa yang sebenernya bikin gue nekad macarin mereka semua. Itu terjadi begitu aja. Gue ketemu mereka, ngobrol deket, terus ngerasa cocok. Lalu timbullah rasa sayang gue. Kebetulan mereka juga merasakan hal yang sama kaya gue rasain. Jadi klop. Gue berat buat milih salah satu dari mereka. Masing-masing punya kelebihan yang berbeda-beda”, Ariel menjawab panjang lebar. Matanya tampak menerawang jauh. Mungkin dia sedang membayangkan kelebihan-kelebihan dari pacarnya itu satu persatu. “Satu hal yang jadi prinsip gue, Deb. Gue nggak akan macarin cewek yang udah jadi istri orang”, kata Ariel lagi. “Tapi kalo mereka tau udah lo duain, tigain bahkan empatin gitu, kan bakalan runyam. Apalagi kalo yang tau duluan justru Diba. Rumah tangga lo bisa kacau. Sayang kan, Riel?” “Yaa kalau emang harus begitu jalannya, ya udah gue terima aja. Abis gimana dong? Udah jadi resiko gue”, jawaban Ariel benar-benar di luar dugaanku. Santai sekali kesannya.

Kuhela nafas panjang. Sekali lagi kutatap wajahnya dalam-dalam. Walaupun sudah tahunan berteman dengannya, aku masih tetap tidak dapat memahami cara berpikirnya yang demikian tidak lazim menurutku. “Lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Lo nggak ada rasa bersalah udah nyakitin hati istri lo?” tanyaku lagi. Rasa penasaran membuatku memberanikan diri untuk terus mengulitinya. “Enggak tuh. Kan dia nggak tau. Jadi ya gue enggak nyakitin dia”. “Tapi kalau dia tau?” serangku lagi. “Ya jangan sampai tau dong”, jawaban Ariel justru membuatku terdiam. Speechless. ***** Kujalankan mobil perlahan memasuki halaman parkir Resto Mini. Tampak beberapa mobil terparkir di sana. Terik sinar mentari dengan garang membakar kilap mobil yang berjejer rapi tersebut.

Hari ini sebenarnya aku ada janji untuk bertemu, makan siang di sebuah café, dengan seorang calon pembeli besar butikku. Namun tiba-tiba janji itu dibatalkan. Maka segera kuputar arah menuju restoran ini.

Resto Mini sudah menjadi tempat langgananku untuk makan siang selama ini, karena letaknya tidak jauh dari lokasi butikku. Namun kesibukanku selama beberapa bulan terakhir mengurusi butik baruku di Bali, tidak terasa telah menumbuhkan rasa rindu yang menggelegak, untuk mencicipi lagi berbagai menu masakannya yang lezat-lezat. Kumatikan mesin setelah kuparkir mobil dengan rapi di pelatarannya. Namun kuurungkan niatku membuka pintu mobil, ketika pandanganku terantuk pada sosok sepasang pria dan wanita yang sedang berpelukan mesra, berjalan beriringan memasuki restoran. Kupicingkan mata untuk memperjelas pandangan. Tidak salah lagi. Dia memang Ariel! Dan lagi-lagi dia sedang bersama wanita lain.

Kuambil hape dari dalam tasku, lalu kepencet sebuah tombol membuat nada panggil. “Hai Deb, apa kabar? Lagi dimana lo?” suara Ariel terdengar ramah, di seberang sana. “Heh, lo lagi jalan sama siapa tuh?” semprotku tanpa basa basi lagi. “Hehehe… Udah lama gak ketemu gue, kok lo masih punya radar aja, sampai tau-tauan kalau gue lagi sama cewek”. Jawaban Ariel dengan nada canda seketika terdengar begitu memuakkan di telingaku. “Gue sekarang lagi ada di parkiran Resto Mini. Lo bisa keluar sebentar nemuin gue kan?” balasku dengan nada serius. “Ups, ada apa sih neng? Serius bener kedengerannya”, Ariel membalas. “Udah buruan. Gue tunggu sekarang ya. Thanks”, jawabku sambil mematikan hape.

Kutarik nafas panjang dan berat. Mataku gelisah memperhatikan pintu restoran yang masih tetap tertutup. Menghitung detik demi detik yang berlalu, melaju kencang mengiringi detak jantungku.

Ketegangan wajahku agak melumer, sesudah kulihat bayangan Ariel berjalan keluar dari dalam restoran. Matanya tampak berputar, mencari-cari. Dia melemparkan senyum ketika kubunyikan klakson mobilku pelan. Ariel berjalan santai menghampiri mobilku. Ariel membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Aroma wangi segar tubuhnya segera menyergap hidungku. “Apa kabar, Deb? Gimana Bali? Asik?” tanya Ariel menggagas percakapan. “Biasa aja”, jawabku singkat. Terdengar agak ketus. “Kenapa sih lo, Deb?” tanya Ariel lagi dengan wajah keheranan.  “Tolong lo jelasin ke gue. Siapa cewek yang sama lo tadi?” “Masak lo nggak ngenalin? Itu kan Dayana?” jawab Ariel. Terlihat sinar kebanggaan pada raut mukanya. Gubraakk!! “Iya, gue tau itu Dayana. Semua orang yang nonton tivi, pasti juga kenal dia. Yang gue mau tau, dia itu siapa lo?” Aku tidak dapat menyembunyikan lagi emosiku yang menjejak keras. Ariel meringis. “Gue udah putus sama Ria dan Melissa. Jadi sekarang gue pacaran sama Dayana. Yaa… Udah hampir enam bulan ini deh”. “Riel, lo waktu itu bilang, kalau lo enggak akan macarin istri orang kan?” tanyaku sambil menatapnya tajam. “Iya sih gue maunya juga gitu. Abis gimana dong? Gue nggak bisa nolak perasaan sayang yang muncul di hati gue”. Sayang? Aku mendengus kesal. Sinis. “Kapan sih Riel, lo akan berhenti?” tanyaku lagi. Terdengar putus asa. “Aduh Deb, jangan nanya gitulah. Gue cuma kepingin nikmatin hidup aja. Udah yuk, turun. Gue kenalin lo sama Dayana”, ajak Ariel dengan bersemangat. Aku menggeleng pelan. Tiba-tiba saja selera makanku menguap. Hilang. “Enggak ah. Gue mau balik ke butik aja. Migren gue kumat”, jawabku memberi alasan. “Yaelah, udah nyampe sini ya lo makan aja dulu, baru balik kantor. Perut kosong bisa bikin kepala tambah pusing lho”, balas Ariel penuh perhatian.  Aku menggeleng sekali lagi. “Enggak. Gue mau balik aja. Udah gih, lo turun sana, udah ditungguin kan”. “Uh, dasar keras kepala! Yo wis, sampai ketemu lagi ya. Hari Minggu besok, lo dateng ya ke rumah? Ulang taun Darrel”. Kulempar senyum dengan enggan.

Ariel turun dan berlari kecil menjauh meninggalkanku. Kutatap punggungnya dari tempat dudukku di dalam mobil.  Terbayang kembali di benakku bayangan Mas Seno kala meregang nyawa. Serangan jantung dan stroke membuat kami harus merelakannya pergi, berpulang menghadap Yang Maha Kuasa. Kepergian kakak iparku itu – kakak dari Wibi, suamiku – terasa begitu menyakitkan, karena terjadi begitu mendadak, dipicu oleh peristiwa keributan yang terjadi sebelumnya dengan istrinya. Istri Mas Seno, Dayana, tersangkut skandal yang menghebohkan dengan seorang pejabat tinggi. Padahal demi Dayana, Mas Seno sebelumnya sampai rela menceraikan istri dan meninggalkan anak-anaknya. Mas Seno terlalu naïf mengartikan cinta dan pesona yang ditawarkan oleh seorang Dayana. Cinta yang tidak diimbangi dengan ketulusan dan kesetiaan, tetapi lebih banyak dicetuskan oleh keserakahan untuk menguasai materi. Kuhembuskan nafas dengan berat. Mengusir kegalauan yang menerjang sanubariku. Entah kepada siapa aku harus menaruh iba. Ariel atau justru Dayana?

Kukibaskan jauh-jauh rasa sakit pada kepalaku yang terasa berdenyut-denyut memikirkan jawabannya. Kumundurkan mobil dan kutinggalkan halaman parkir Resto Mini, yang sedang menjadi saksi peraduan dua hati, yang sedang dimabuk asmara yang tiada bertepi. Duh, Ariel..!! ******

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com