Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Vuvuzela sampai Goyang Shakira

Kompas.com - 04/07/2010, 03:07 WIB

Tak berapa lama dua pria setengah baya pendukung Belanda—yang tengah melintas menuju perhentian bus— mendekat, mengulurkan tangan, menepuk-nepuk pipi, dengan sungguh-sungguh menghibur kedua pendukung Brasil tersebut.

Mungkin ini peristiwa kecil yang remeh, tetapi dari sisi lain dapat menunjukkan betapa sepak bola telah mempersatukan kemanusiaan. Mereka yang kalah tak perlu terpuruk. Mereka yang menang tak harus jemawa. Dari yang semula menerima uluran tangan dengan wajah masam, pelan-pelan pendukung Brasil itu mulai tersenyum, sebelum akhirnya mereka berpelukan.

Piala Dunia memang menjadi ajang tertinggi berbagai bangsa untuk unjuk gigi soal keunggulan mereka bersepak bola. Namun, Piala Dunia juga yang menyatukan banyak budaya di tempat tertentu, pada waktu tertentu. Yang garang, yang lembut, yang penggembira, dan yang pemarah bertemu di dalam lapangan, juga di luar lapangan.

Areal parkir King’s Beach, misalnya, sejak Jumat siang mulai ramai. Sebagai lokasi Park and Ride FIFA—penonton bisa memarkir kendaraan dan pindah ke bus yang membawa mereka ke stadion—King’s Beach menjadi salah satu tempat yang paling dikenal pendukung. Ribuan orang berduyun-duyun, berjalan kaki atau mengendarai mobil, mendatangi lokasi ini. Karena lokasinya yang berseberangan dengan pusat akomodasi kelas menengah Summerstrand—seperti hotel kelas sedang, guest house, dan bed and breakfast—dari berbagai bangunan itu muncul ratusan pendukung tiap-tiap tim.

Datang dari berbagai latar belakang budaya—juga tingkat usia—yang berbeda, pembawaan mereka pun beragam. Yang usianya di atas 60 tahun, misalnya, datang berombongan dengan sesama usia tua. Mereka cukup mengenakan kostum tim yang didukung, kadang-kadang ditambah dengan bendera kecil. Jarang di antara mereka yang menenteng vuvuzela, misalnya.

Yang usianya sekitar 40-50 tahun terbagi dua. Ada yang bepergian bersama mereka yang sebaya—umumnya laki-laki; sementara yang lain bersama dengan keluarga yang kadang kala lengkap sampai tiga generasi. Kostum yang digunakan lebih beragam, tetapi tidak aneh-aneh, sebatas kacamata raksasa plastik warna-warni, bendera yang dikalungkan di leher, dan helm warna-warni dengan aneka hiasan.

Mereka yang bergabung bersama dengan teman sejenis umumnya—terutama yang berusia di bawah 40 tahun—lebih berani ”gila”. Muka dicoreng gambar bendera negaranya, atau bahkan ada yang digambar mirip harimau, lengkap dengan misainya. Bahkan, ada pendukung tim nasional Belanda, misalnya, yang rela mengenakan rok dengan semua atribut gadis pemerah susu, sementara untuk kenyamanan kaki sepatu yang dikenakan adalah sepatu kets. Yang lain datang dengan anjing yang mengenakan kaus timnas, mengenakan jas resmi warna oranye, berseragam bak pilot dan pramugari semuanya oranye, atau memasang mahkota dari untaian balon berwarna oranye.

Dari berangkat

Kendati mendukung tim yang berbeda, pada kasus pertemuan Brasil-Belanda pada laga perempat final di Port Elizabeth, keakraban para pendukung sudah terasa sejak pemberangkatan di King’s Beach. Bus gandeng yang penuh sesak dengan penumpang kedua tim diwarnai dengan adu yel, adu lagu, adu gaya. Pendukung tim Brasil lebih banyak memiliki perbendaharaan yel, tentu dengan bahasa nasionalnya: Portugis. Mereka membawa ”replika” Piala Dunia, mengacung-acungkan ke luar jendela bus.

Yang menarik, pertarungan yel kedua tim di dalam bus nyaris tanpa jarak. Mereka benar-benar bersebelahan dengan teriakan yang menggelegar dan bahasa yang berbeda. Mungkin, masing-masing bahkan tak paham apakah yang dilontarkan lawannya adalah ejekan tajam. Yang jelas, mereka semua sama-sama tertawa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com