Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terlambat Mencintai

Kompas.com - 21/11/2010, 03:54 WIB

 

 

 

Di tengah pertunjukan drama musikal Onrop, saya menangis. Teman di samping saya tak ada yang tahu. Saya tak tahan melihat adegan saat pemeran utama wanita merengek sambil melantunkan lagu ”Bram Baby, One Kiss Please”.

Air mata saya makin mengalir deras ketika Bram dibuang ke Pulau Onrop, menangis, sesenggukan, ketika ia baru menyadari bahwa ia menyia-nyiakan begitu banyak waktu untuk menerima kehangatan cinta kekasihnya. Hanya untuk satu ciuman saja, kekasihnya harus meminta meski sambil bernyanyi.

Saya menangis karena adegan itu mengingatkan kerinduan kepada ayah yang sudah game over empat tahun lalu. Seperti Bram, saya tak pernah punya waktu untuk memberi kesempatan ia mencintai saya. Saya sudah seperti spons yang penuh dengan air kebencian karena, menurut saya, ia tidak pernah mencintai.

Tersakiti

Sore itu, selesai menyaksikan pertunjukan berdurasi dua jam lebih sekian jam, dada saya terasa sesak karena tak bisa menangis secara tuntas. Maka, pada malam harilah, ketika saya kembali di sarang sendiri, saya menangis seperti Bram. Sesenggukan. Saya ingat lagi dengan kejadian di gedung itu.

Ayah saya bukan orang romantis, seperti Bram dalam drama musikal itu. Ia bukan seorang pria yang mengungkapkan rasa cintanya dengan terang-terangan. Waktu kami masih kecil, saat Natal tiba, tak ada family gathering. Ia mengirim anak-anaknya ke sebuah hotel untuk Natalan bersama Pak Santa. Ia sibuk dengan acara open house yang menyita waktu dari pagi hingga malam hari.

Saat saya menyisihkan sedikit uang dari hasil bekerja di masa menjadi mahasiswa, saya membelikan penganan untuk ayah. Waktu itu saya bangga sekali bisa membelikannya roti. Namun, saya kecewa berat karena jawaban macam begini yang saya dapatkan: ”Uang itu disimpan, jangan dihambur-hamburkan.” Dihambur-hamburkan? Sebagai anak, saya hanya mau menyenangkan ayah dengan cara saya sendiri. Cara yang di matanya dilihat sebagai sebuah pemborosan.

Karena melihat cara yang berbeda dalam mengungkapkan cinta itulah saya sakit hati. Saya tak tahu apakah ayah sakit hati. Bukankah orangtua itu selalu benar meski salah? Dan, sebaliknya dengan anak, selalu salah, meskipun kadang benar. Mungkin itu alasan yang satu disebut orangtua, dan yang satu lagi disebut anak.

Kebencian yang bersarang di hati saya berlangsung belasan tahun lamanya. Sampai pada suatu hari saya bisa mengampuni diri saya, sebelum saya mengampuni ayah. Sayang, saat sedang begitu menikmati rasa cintanya, Tuhan mengambilnya pulang. Saya menyesal. Penyesalan itu sering timbul dalam bentuk rasa rindu yang sangat, yang kadang menusuk tulang.

Yang, aku cinta padamu

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com