Oleh Ilham Khoiri
Bisakah karya sastra mengubah masyarakat? Tengok saja Pulau Belitong, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Novel ”Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata, yang mengisahkan perjuangan anak-anak kampung untuk bersekolah di pulau itu, ternyata bisa memicu kegairahan baru.
Puluhan orang berbondong- bondong mendatangi sebuah bukit bekas penambangan timah di Desa Linggang, Kecamatan Gantong, Kabupaten Belitung Timur. Di situ, ada bangunan sekolah dari kayu yang doyong. Bagian kanannya disangga batang kayu.
Tiba di situ, sudah ada Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Helmy Faishal Zaini. Ditemani Bupati Belitung Timur Basuri Tjahaja Purnama, menteri membuka selubung kain di teras depan. Terkuaklah papan nama bertuliskan warna-warni: ”SD Laskar Pelangi”.
Ini salah satu puncak Festival Laskar Pelangi, akhir November lalu. Sekolah itu adalah replika dari SD Muhammadiyah, yang diceritakan dalam novel sebagai tempat 10 anak kampung yang dulu berjibaku belajar. Festival ini memang untuk mengukuhkan jejak- jejak perjuangan mereka.
”Dulu, Belitung Timur ini tak dikenal. Setelah muncul novel Laskar Pelangi, apalagi kemudian difilmkan, pulau ini menjadi terkenal,” kata Basuri Tjahaja Purnama.
Bagi masyarakat Pulau Belitong, khususnya Kabupaten Belitung Timur, novel karya Andrea Hirata itu punya tempat istimewa. Lewat karya sastra ini, kawasan itu kian dikenal luas. Masyarakat setempat semakin bergairah dan percaya diri.
Demi memendarkan gairah itu lebih luas, mereka kemudian menggelar Festival Laskar Pelangi yang mempertontonkan rupa-rupa seni budaya lokal. Tujuannya untuk memajukan pendidikan, pariwisata, dan ekonomi rakyat.
Kesadaran pendidikan diperkuat dengan membangun monumen pendidikan, seperti sekolah itu, selain juga mendirikan rumah baca atau perpustakaan umum. Pariwisata diharapkan meningkat bersama pergelaran acara-acara seni budaya. Ekonomi rakyat diperkirakan tumbuh seiring dengan masuknya wisatawan.
Paradigma baru
Usaha masyarakat Belitung Timur itu cukup menarik. Membangun sebuah kawasan ternyata tidak melulu harus mengandalkan dana dan kekuasaan. Karya kreatif, seperti sastra, ternyata juga bisa mendorong perubahan bagi lingkungan sekitarnya.
”Jika masyarakat punya spirit yang kuat untuk mengubah dirinya, termasuk lewat karya sastra, keadaan akan berubah,” kata Helmy Faishal Zaini.
Ia lantas memuji Kabupaten Belitung Timur karena sudah resmi dikeluarkan dari daftar daerah tertinggal sejak awal tahun 2010. Infrastruktur, ekonomi, dan kondisi sosial di daerah ini dianggap sudah tak lagi tertinggal. ”Ini bisa menjadi cerminan bagi daerah lain di Indonesia,” katanya.
Memang ada beberapa perubahan di kawasan ini. Tak hanya kian populer, jumlah wisatawan yang berkunjung ke pulau itu juga meningkat tajam. Kepala Desa Linggang Fakhrul Rizal bahkan sampai menyebut peningkatan itu mencapai 800 persen daripada tahun-tahun sebelumnya.
”Mungkin ada sekitar 7.000 orang tiap tahun yang berkunjung ke desa kami. Lima tahun lalu, daerah ini masih sangat sepi,” katanya.
Sejak tahun 2000, Pulau Belitong telah dikembangkan menjadi dua kabupaten, yaitu Belitung (induk) dengan ibu kota di Tanjung Pandan, dan Belitung Timur yang berpusat di Manggar. Meski masih kabupaten baru, wilayah ini secara alami memiliki potensi menarik, terutama dalam wisata.
Di Belitong, misalnya, ada dua pantai terkenal yang bersisian, yaitu Pantai Tanjung Tinggi dan Pantai Tanjung Kelayang. Dua pantai ini dikaruniai keindahan alami: air laut jernih dengan dasar karang, pasir putih, dan bebatuan granit yang membingkai sudut-sudut pesisir.
Langkah awal
Namun, cukupkah dengan novel, film, festival budaya, dan musikal lalu keadaan benar- benar berubah? Agaknya karya seni hanya menjadi pemicu atau semacam pintu masuk. Perkembangan berikutnya bergantung pada kerja keras pemerintah dan masyarakat di lapangan.
Apalagi, selain punya potensi alam, Kepulauan Bangka Belitung juga punya banyak persoalan. Meski dipromosikan sebagai kawasan wisata dengan pantai indah, infrastruktur di pulau ini masih minim. Jumlah hotel terbatas. Di Belitung Timur jumlah hotel tidak lebih dari lima unit. Wisatawan pun terpaksa kerap menginap di rumah penduduk. Sarana transportasi umum hampir tidak ada sehingga wisatawan harus menyewa mobil untuk jalan-jalan.
Soal lain, penambangan timah liar masih saja berlangsung. Tak hanya lahan kosong atau perkebunan, daerah di hutan lindung juga digali dan dikeruk tanahnya untuk disedot timahnya oleh para penambang. Jika tak dikendalikan, bukan tak mungkin kerusakan itu menggerogoti pantai yang indah. Toh, kerusakan sudah terbukti memorak-porandakan Pantai Rebo di Sungai Liat, Kabupaten Bangka, yang dulunya indah.
Namun, bagaimanapun, karya seni tetap bisa menjadi titik permulaan yang baik. ”Minimal masyarakat diberi tawaran atau pandangan lain untuk mengembangkan diri di luar kerja mendulang timah yang terbukti merusak lingkungan. Dan karya seni ternyata bisa menjadi pintu masuk ke arah situ,” kata penyair asal Belitung Timur, Larsi de Isral (33).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.