Dari segi tema cerita, latar dan pengambilan gambar, film Rindu Purnama besutan Mathias Muchus ini sudah oke, menurut penilaian saya. Tapi dari beberapa setingan adengan film yang diproduksi Mizan ini masih ‘gagal’ dan belum berhasil menyentuh saya.
Permainan mimik wajah dan bahasa tubuh yang sedikit mencontek film korea, masih kurang maksimal diperankan para pelakon di film ini sehingga rasa hambar sangat kental mengiringi film berdurasi 90 menit tersebut.
Awalnya saya terkesima dengan pengambilan gambar secara landscape yang mengambarkan secara utuh kehidupan Jakarta yang sibuk dan padat. Adegan kejar-kejaran di pembukaan film juga mengingatkan saya akan film peraih oscar dari India, Slumdog Millionaire.
Tapi di situlah titik lemah film yang diproduseri Putut Wijanarko ini. Dia ingin menggabungkan adengan kejar-kejaran tersebut dengan nuangsa komedi khas Indonesia yang selama ini membuat saya bosan dan jenuh dengan film genre komodi yang terlalu dipaksa untuk lucu.
Mungkin lebih tepatnya, dipaksa untuk terlihat alami padahal terlihat cukup kasar beberapa adengan dari pelakon yang ada. Okelah, mereka hanya figuran yang munculnya juga hanya sekali-kali. Tapi harusnya ini menjadi pelajaran besar bagi Mathias Muchus yang telah membintangi 30 film sejauh ini.
Dari segi cerita sendiri, saya ingin mengatakan jika film ini tidak bercerita tentang kehidupan anak jalanan. Tapi lebih tepanya hubungan asmara antara Surya (Tengku Firmansyah) dengan Sarah (Ririn Ekawati) yang disipi kecemburuan Monieq (Titi Sjuman).
Kehidupan anak jalanan hanyalah selentingan. Mereka hanya menjadi pelengkap hidupnya cerita asmara yang muncul dari bahasa tubuh kedua insan yang bersemai di sini.
Jika inti film ini memang bercerita tentang anak jalanan, kenapa kemunculan Rindu/Purnama (Salma Paramitha) lebih didominasi tiga aktor kondang yang bermain di film ini. Cerita tentang Purnama sendiri tidak mendalam, hanya permukaan saja. Lebih tepatnya cerita anak jalanan ini hanya penghubung kedua insan tersebut.
Padahal sebelumnya, bang Mathias telah membeberkan jika film pertama yang dinahkodainya ini akan banyak bercerita tentang anak jalanan. Saya malah lebih kesengsem dengan cerita film Alangkah Lucunya Negeri Ini yang memang menggambarkan secara gamblang kehidupan anak jalanan yang terpasa menjadi copet atau Denias yang menceritakan perjuangan seorang anak di ketinggian Papua.
Intinya, film Rindu Purnama bukan film tentang kehidupan anak jalanan, tetapi film asmara yang kebetulan dipertemukan oleh anak jalanan.
Saya juga tidak menemukan klimaks dalam film ini. Akhirnya saja sudah bisa ditebak ketika film berjalan sekitar 30 menit pertama. Dengan berat hati saya mengatakan jika film ini masih belum berhasil menyentuh saya yang memang senang dengan cerita anak jalanan.
Banyak adengan yang menurut saya juga tidak realistis. Walaupun ini hanya film, tapi mungkinkah seorang anak yang ditabrak mobil harus amnesia tanpa ada bekas luka di kepalanya. Tanpa ada darah dan tanpa ada cacat ataupun tergores. Impossible menurut saya.
Tapi untunglah, dari kejenuhan saya menyaksikan gelaran perdana film ini di XXI Cineplex Mall Ratu Indah Makassar, soundtrack filmnya membuat saya terhibur. Lagu-lagu dan musik yang dihadirkan sedikit membangun suasana.
Walau demikian, saya apresiasi Mathias yang sudah berusaha membuat film ini selama setahun penuh. Walau belum sanggup membuat saya menyandingkan film ini dengan film Turtles Can Fly yang juga bercerita tentang anak-anak di Irak.
Saya hanya mendoakan semoga film-film Indonesia ke depannya bisa lebih kreatif dan menyuguhkan tontonan yang mendidik dan menghibur. Satu lagi, film ini sedikit besarnya punya unsur pendidikan yang menghibur.
Ini hanya penilaian saya… (Kompasiana/Rahmat Hardiansya)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.