Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Balik Kisruh Film Impor

Kompas.com - 26/02/2011, 03:29 WIB

Ignatius Haryanto

Beberapa minggu yang lalu kita dikagetkan adanya pengumuman rencana penarikan film-film Hollywood di layar bioskop di Indonesia.

Motion Picture Association (MPA) merasa keberatan dengan pemberlakuan pajak impor film yang dipertinggi hingga 27 persen. Akibatnya, banyak pihak—terutama konsumen—merasa keberatan dengan rencana ini dan pemerintah pun sibuk mengklarifikasi.

Pemerintah berargumentasi bahwa pajak film impor adalah untuk meningkatkan produksi film Indonesia dan pihak lain—beberapa sineas—merasa bahwa kosongnya layar bioskop dari film-film Hollywood bisa dimanfaatkan oleh para sineas Indonesia untuk mengukuhkan film-film Indonesia di dalam negeri. Pertanyaannya, sedemikian mudahkah hal itu terjadi?

Ketidaksambungan logika

Tak pernah ada penjelasan yang cukup jelas dan rinci, dari mana logika bahwa pajak film impor akan otomatis memberikan dukungan dari pemerintah kepada film-film nasional.

Dari peta permasalahan soal film yang pernah ditulis oleh Budi Irawanto (2004), salah satu bentuk dukungan pemerintah yang sangat dinanti para sineas Indonesia adalah pembuatan sekolah-sekolah film, investasi dalam teknologi pemrosesan film, dan juga investasi agar ada perawatan dan pendokumentasianfilm-film Indonesia.

Di sini slogan lebih jadi panglima, ketimbang aksi nyata. Film dimasukkan dalam sektor industri kreatif Indonesia, tetapi nyatanya para sineas mengeluh bahwa mereka harus berjuang sendiri untuk menyelesaikan seluruh proses produksi film—termasuk cari investor—tanpa bantuan pemerintah sama sekali.

Kalaupun ada, bentuknya adalah lembaga sensor film yang tak jarang malah merugikan. Padahal, wacana tentang klasifikasi film—sebagai wacana alternatif sensor—sudah banyak disuarakan.

Jadi, bagaimana mau membangun industri kreatif yang patut disegani jika peran pemerintah membangun infrastruktur tidak dilakukan?

Melihat ancaman MPA, kita harus menganalisis dengan cukup jernih. Ini bukan pertama kali MPA punya ulah di Indonesia. Tak usah menyebut penentangan terhadap MPA pada zaman Soekarno ketika kantor mereka di Indonesia ditutup kala itu, tetapi cukup peristiwa 20 tahun lalu.

Di bawah kontrol Orde Baru yang seolah-olah mau melindungi budaya bangsa Indonesia, muncul kebijakan untuk membatasi jumlah judul film asing yang beredar di Indonesia, terutama film-film Amerika.

Awal dekade 1990-an, MPA yang makin ekspansif keberatan dengan kebijakan itu. MPA minta kelonggaran, bahkan pembatalan. Ketika pemerintah menolak, MPA balik mengancam: Pemerintah Amerika akan membalasnya dengan memblokade jalur ekspor tekstil dan plywood Indonesia ke Amerika. Pemerintah Indonesia akhirnya mengalah dan film Hollywood pun makin deras masuk Indonesia (Krishna Sen, 1994).

Inilah fenomena yang akan terkristal dengan munculnya lembaga perdagangan dunia, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia). Di luar itu, Pemerintah Amerika rajin menekan Indonesia untuk akses pasar yang lebih besar lewat perjanjian multilateral dan bilateral. Alhasil, memang film-film Hollywood seakan tanpa batas.

Janet Wasko, peneliti soal industri film di Amerika, pernah menyebut dalam bukunya How Hollywood Works (2003) bahwa ekspansi film-film Hollywood ke berbagai wilayah di dunia sudah terjadi sejak awal abad ke-20. Dominasi film-film Hollywood adalah gabungan faktor sejarah, ekonomi, politik, dan budaya sekaligus. Jangan lupa, diingatkan Wasko juga, bahwa industri hiburan adalah industri kedua hasil ekspor terbesar dari Amerika. Hasil penjualan film Amerika di luar negeri makin lama makin besar persentasenya, di samping makin meningkat angka penjualan riilnya.

Oleh karena itu, ”wajar” dan bisa diterima ”logika” bahwa Amerika dan lewat jejaring MPA-nya melakukan segala daya upaya untuk melawan atas setiap bentuk pembatasan atas akses pasar film mereka di mana pun. Inilah yang terjadi di Kanada, Perancis, Korea Selatan, Thailand, India, dan sejumlah tempat lain. Ini logika dagang semata: tak mau dibatasi, tak mau diatur, yang penting keuntungan mengalir deras.

Sisi Indonesia

Upaya Pemerintah Indonesia menaikkan pajak impor film bisa dilihat dari dua sisi. Satu, target yang dibebankan pada sektor film impor ini cukup tinggi yang mungkin terkait dengan target pemasukan dari pajak. Namun, di sini juga muncul pertanyaan, apakah angka 27 persen atas pajak tersebut sesuatu yang wajar? Dari mana munculnya angka itu? Butuh penjelasan lebih detail dari pihak pemerintah.

Kedua, salah satu argumen pemerintah menyatakan bahwa pemberlakuan tarif dimungkinkan sebagai suatu bentuk proteksi terhadap pasar film, yang dalam salah satu artikel kesepakatan WTO dimungkinkan. Dalam arti ini, niatan pemerintah mulia: memproteksi pasar perfilman dalam negeri.

Namun di sisi lain, muncul pertanyaan apakah ini strategi yang cerdas, mengingat langkah tak diikuti perencanaan sistematis untuk mengembangkan dunia perfilman menjadi industri kreatif yang maju dan mandiri.

Betulkah sineas Indonesia jadi lebih berpeluang dengan rencana mundurnya film Hollywood di layar kaca Indonesia? Belum tentu.

Kita tengok saja sejumlah permasalahan dalam produksi film Indonesia yang berbiaya rendah, teknologi kacangan, dan skenario yang tidak ada juntrungannya: membungkus cerita hantu dengan para artis seksi, atau cerita komedi yang masih slapstick. Apakah jenis film macam ini yang akan menjadi ”tuan rumah di negeri sendiri”? Mohon maaf, saya sendiri tak mau jadi tuan rumah untuk film macam itu.

Kembali pada uraian Budi Irawanto (2004), dalam setiap lini proses produksi film Indonesia menyimpan masalah. Masalah muncul mulai dari soal regulasi perfilman, soal kreativitas dan sensor, soal distribusi perfilman, sumber daya perfilman, apresiasi pada perfilman, hingga ke soal dokumentasi perfilman kita.

Jadi peta permasalahan sudah lama dijabarkan, tetapi apakah pihak-pihak yang tersebut di situ mengerjakan pekerjaan rumahnya atau tidak? Ini yang sebenarnya menjadi inti masalah.

Saya sendiri menduga tak mungkin film-film Hollywood betul-betul keluar dari pasar Indonesia karena bagaimanapun juga Indonesia pasti akan selalu dilihat sebagai pasar film Amerika yang besar. Namun, sudahkah kita juga cukup berdaulat sebagai konsumen? Di luar itu, sudahkah kita juga berdaulat sebagai produsen juga?

Jadi, menurut saya, ini hanya soal tarik ulur sementara dan akhirnya muncul kesepakatan dari kedua belah pihak—Pemerintah Indonesia dan MPA— untuk negosiasi yang baru. Sekali lagi ini bukan soal nasionalisme, melainkan lebih tepat sebagai urusan antara pedagang dan rentenir. Pedagang mau jualan, rentenir mau tarik pajak lebih tinggi. Sesederhana itu.

Ignatius Haryanto Peneliti Media dari LSPP, Jakarta; Pemerhati Soal Industri Kebudayaan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com