Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Erwin Gutawa: Keluar dari Keseragaman

Kompas.com - 27/02/2011, 05:15 WIB

 Oleh Dira Sugandi bernyanyi

Menikmati pergelaran ”A Masterpiece of Erwin Gutawa”, Sabtu (26/2) malam di Jakarta Convention Center, terasa benar bahwa musik pop di negeri ini sebenarnya tidak seragam. Sayangnya, musik dengan rasa yang seragam itu yang belakangan mendominasi belantika musik Tanah Air. Frans Sartono

”Kaulah Segalanya” dengan penjiwaan total, abis-abisan, seperti tabiat penyanyi soul yang berekspresi dengan segenap jiwa. Aura atau vibes dari penampilan Dira terasa di panggung. Ketika lagu usai, penonton riuh dalam tepuk tangan.

Erwin Gutawa menyiapkan aransemen yang nyaman bagi Dira. Untuk lagu tersebut, Erwin menggunakan orkestra lengkap dengan 90 musisi, plus paduan suara dengan 60 awak. Dira mengakui garapan musik untuk lagu tersebut

memberinya ruang yang nyaman.

”Saya kayak dijaga di mana-mana, rasanya aman. Mau nyanyi ke mana saja rasanya enak. Saya tinggal improvisasi. Kalau vibe tidak dapet (dari musik), saya tak bisa se-all out itu,” kata Dira tentang garapan musik Erwin dan orkesnya.

”Kaulah Segalanya” gubahan Tito Sumarsono menjadi salah satu jejak kreatif Erwin yang disuguhkan dalam pergelaran. Lagu itu pernah digarap Erwin untuk mengawal penampilan Ruth Sahanaya di Midnight Sun Song Festival di Finlandia pada 1992. Ruth mendapat gelar penyanyi terbaik. Dira Sugandi membawakan lagu dalam dua versi bahasa Indonesia ”Kaulah Segalanya” dan bahasa Inggris ”Say That You’ll Always be Mine”. Dira dan Erwin dalam konser mampu menghidupkan kembali lagu tersebut.

Bukan sentimental

Meski mengusung nama Erwin Gutawa dan menampilkan jejak Erwin di masa lalu, pergelaran ”A Masterpiece of Erwin Gutawa” yang disiapkan KG Production dan Dyandra Production itu tidak menjadi ajang sentimentalisme masa lalu. Erwin justru ingin menawarkan kepada publik, termasuk kepada para pelaku industri musik, tentang musik pop yang bisa dinikmati konsumen.

”Saya ingin ngasih tahu masyarakat, juga teman-teman di industri musik, inilah musik yang saya rekomendasi. Semoga penonton sepakat dengan rekomendasi saya,” kata Erwin.

Pergelaran juga tidak jatuh ke romantisisme masa lalu. Lagu kondang masa lalu dari Koes Plus sampai Chrisye dimunculkan tidak dalam rangka nostalgia, tapi sebagai reinterpretasi karya untuk dihadirkan kepada penikmat musik hari ini.

Itu dibuktikan Erwin lewat penampilan Vidi Aldiano dan Afgan yang membawakan medley lagu-lagu Chrisye ”Baju Pengantin-Merpati Putih-Angin Malam-Serasa-Pelangi”. Seorang penonton yang mengenal lagu Chrisye dan berharap bernostalgia merasa agak kecewa karena tidak ”menemukan” Chrisye di sana. Erwin memang sedang meletakkan lagu-lagu tersebut dalam panggung kehidupan generasi hari ini yang tidak terikat pada romantisisme masa ketika lagu itu berjaya pada paruh kedua era 1970-an.

Begitu pula lagu Koes Plus dihadirkan dengan semangat mencari kebaruan. Lagu ”Andaikan Kau Datang” gubahan Tony Koeswoyo yang dipopulerkan oleh suara Yon Koeswoyo tahun 1971, misalnya, malam itu dinyanyikan Sandhy Sondoro dengan gaya soul. Dengan pendekatan soul pula, Sandhy membawakan ”Why Do You Love” gubahan Yok Koeswoyo (1972).

Demikian juga Erwin memperlakukan lagu Iwan Fals. Dalam pemanggungan Iwan tercerabut dari habitat kerakyatannya. Ia seperti terbelenggu oleh panggung yang terkesan formal. Setidaknya tidak seperti panggung rakyat di mana penikmat Iwan biasa bebas berjingkrak-jingkrak berteriak. Di depan penonton kelas menengah atas, Iwan membawakan lagu ”Ijinkan Aku Menyayangimu” dan ”Mata Dewa” yang memang tergolong alusan, ketimbang lagu Iwan jenis ”Bento” atau ”Umar Bakrie” yang nakal.

”Musik Iwan seperti baru. Tapi rasa Iwan-nya masih ada,” kata Wulan, penggemar Iwan dari Karanganyar, Jawa Tengah. Mungkin itulah penanda kebaruan yang ingin dilakukan Erwin.

 

”Walang Kekek”

Konser dengan pengarah pertunjukan Indra Yudhistira ini secara visual cukup menarik. Pergelaran tidak berorientasi ke bintang, tapi pada karya dari seniman Tanah Air. Erwin sebagai tuan rumah memberi torehan pada musiknya.

Konser melibatkan 16 penyanyi, seperti Rossa, Gita Gutawa, Once, Lea Simanjuntak, Eka Deli, Christoffer Nelwan, plus seniman bas Yance Manusama, Indra Hardjodikoro, Barry Likumahuwa, dan Fajar Adi Nugroho.

Pergelaran juga menjadi penanda kerja sama yang pernah dibuat oleh Erwin. Waljinah ”ratu langgam Jawa” itu misalnya pernah dipilih Erwin untuk bernyanyi bersama Chrisye dalam album Badai Pasti Berlalu (1999). Waljinah (65) membawakan lagu wajibnya, yaitu ”Walang Kekek” bersama penyanyi muda yang sama-sama berasal dari Solo, Sruti Respati (30).

Pada lagu tersebut, Erwin berusaha untuk tidak menghilangkan rasa keroncong, akan tetapi ia juga tidak ingin menampilkan keroncong secara utuh-utuh. Sentuhan keroncong itu dihadirkan dengan tiga pemain cuk dan cello yang berfungsi perkusif seperti kendang, dalam masyarakat keroncong disebut kendangan.

Keperkusifan keroncong itu diperkuat dengan gaya pizzicato (teknik petik, bukan gesek) pada seksi gesek. Suasana guyub, komunal, dan sedikit ”kampungan” hadir di panggung. Pemain gesek yang sebelumnya duduk manis, kali ini berdiri berjoget sambil memetik biola dan cello. ”Walang Kekek” memang lagu bersemangat kerakyatan, tidak jaim-jaim-an, dan atmosfer itu hadir di panggung.

Erwin memang selalu berusaha mencari sesuatu yang baru. Karena dengan cara seperti kesenimanannya bekerja. Kesegaran-kesegaran itulah yang ia tawarkan kepada masyarakat musik negerinya. (BSW/WKM)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com