Dwi As Setianingsih
Kabar Gugun Blues Shelter tengah mencari dukungan suara agar lolos di ajang ”Hard Rock Calling 2011”
Tahun ini musisi yang akan tampil di tempat itu adalah Bon Jovi, Rod Stewart, Stevie Nicks, dan The Killers. Tahun lalu nama-nama besar di industri musik internasional seperti Jamiroquai, Aerosmith, dan John Mayer juga tampil. Ajang ini selalu sukses dan dipadati ratusan ribu penonton.
”Semua berawal dari mimpi,” ujar Gugun.
Gugun, Jono, dan Bowie memendam impian, kelak mereka tak hanya main di kafe, tetapi juga pada acara berskala internasional, disaksikan ribuan penonton seperti di Stadion Wembley dan Stadion Reebook, Inggris. Dua stadion ini pernah mereka kunjungi saat menggelar tur di London beberapa tahun lalu.
Meski demikian, ihwal keikutsertaan mereka di ajang ”Hard Rock Calling 2011” berawal dari iseng.
”Manajer kami menerima e-mail tentang event ini. Lalu kami mencoba,” ujar Bowie.
Tak disangka, keisengan mereka berbuntut panjang. GBS lolos menjadi 40 besar band yang akan bersaing di ajang tersebut. Berada di region 2, GBS bersaing dengan sejumlah band dari Meksiko dan Singapura, termasuk band asal Bali, Navicula.
Begitu masuk 40 besar, GBS tak lagi sekadar iseng. ”Kami jadi lebih serius mencari dukungan, termasuk dari media,” kata Jono, personel bule di GBS.
GBS pun sukses masuk empat
Meski GBS ”hanya” tampil sebagai band pembuka, tak sedikit pun mengurangi rasa bangganya. ”Banyak orang luar yang tak tahu Indonesia. Banyak orang tahunya Bali, bukan Indonesia. Ini bisa menjadi promosi yang bagus untuk Indonesia,” kata Jono.
Untuk penampilan mereka di Hyde Park, GBS mempersiapkan sejumlah lagu. Jono malah sudah mempersiapkan kostum Presiden Soekarno untuk dikenakan di panggung.
Sebelum menggunakan nama Gugun Blues Shelter, Gugun dan Jono telah membentuk Gugun and The Bluesbug. ”Tahun 2004 saya bertemu Jono. Kami membuat band yang memainkan blues dengan sentuhan rock,” kata Gugun. Dia dan Jono dipersatukan oleh kecintaan pada sosok yang sama, Jimi Hendrix.
Mereka sempat berencana membuat album berbahasa Inggris sebagai persiapan manggung di Australia. Rencana itu gagal karena bencana bom.
Mereka lalu berencana membuat album kedua. Rencana ini juga gagal karena Jono harus kembali ke Inggris, meneruskan sekolah.
Tahun 2008 trio Gugun, Jono, dan Bowie bertemu dan bermain untuk pertama kalinya. Saat itu Jono telah selesai kuliah dan kembali ke Indonesia. Mereka sepakat memakai nama Gugun Blues Shelter. Nama ini terinspirasi acara yang digelar di Kemang, Jakarta, ”Soul Shelter”.
”Nama Bluesbug ternyata dipakai band dari Yunani. Meski jenis musik kami beda, kami memilih tak memakai nama itu dan menggantinya dengan Gugun Blues Shelter,” ujar Jono.
Dengan nama baru, GBS mulai melata membawa blues ke panggung di kafe-kafe. Di luar negeri, agen mereka rajin menawarkan GBS untuk bermain di banyak acara sehingga berkesempatan tampil di luar negeri.
Meski di luar negeri GBS mendapat respons positif, tetapi tak demikian di dalam negeri. Kerap kali kontrak mereka di beberapa kafe tidak diperpanjang.
”Menurut mereka, musik kami terlalu keras. Kami juga kerap main sore, enggak dapat lighting memadai,” kata Gugun. Tak jarang GBS main hanya ditonton pelayan kafe.
Meski musik mereka dipandang sebelah mata karena dianggap tak laku, GBS pantang mundur. ”Kami yakin melakukan hal yang benar dengan musik kami,” kata Gugun.
Kesempatan bermain di ”Java Jazz Festival 2010” menjadi catatan penting perjalanan GBS. Meski bermain di panggung luar, penampilan mereka menarik perhatian penonton.
Setelah tahun ini merilis album Self titled: Gugun Blues Shelter, GBS makin populer. GBS kerap diundang tampil di acara kampus sampai pentas seni SMA. Tanggal 17-26 Mei, GBS kembali bertolak ke London, menggelar tur mereka di sejumlah kafe.
Gugun mengenal gitar sejak usia 9 tahun. Pria kelahiran Duri, Riau, ini sempat belajar gitar secara serius meski beberapa kali terputus di tengah jalan.
”Awalnya saya belajar musik klasik. Tetapi kata gurunya, saya enggak usah main klasik lagi. Sayang, karena saya bisa menyanyi,” kata Gugun.
Jono mengenal bas sejak usia 10 tahun. Dia sempat les piano, tetapi hasratnya pada bas lebih besar. Ia terus mengeksplorasi alat musik itu hingga menemukan gayanya sendiri.
Sementara Bowie tertarik drum setelah mengikuti marching band saat kuliah di Yogyakarta. Ketertarikan itu terus berlanjut hingga ia belajar khusus pada penggebuk drum band GIGI, Gusti Hendi, sekitar enam bulan. Bowie kerap mengikuti sejumlah kelas yang digelar kampusnya, Universitas Gadjah Mada.
Ketiganya berupaya konsisten memainkan musik yang mereka usung. Salah satu bentuknya, saat ada perubahan arus besar musik, GBS tak latah meski tekanan yang datang begitu besar. Mereka keukeuh di jalur blues dengan memegang keyakinan kelak akan sukses.
Ketiganya sadar, musik tak membuat mereka kaya raya. ”Kami lebih senang musik kami diapresiasi orang karena kami memainkannya dari hati,” kata Jono. Bagi mereka, materi hanyalah efek, bukan tujuan.