Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gatotkaca Itu Lahir di Mal

Kompas.com - 29/05/2011, 03:56 WIB

Frans Sartono

Jabang Tetuko, an Immersive Cultural Experience: sebuah judul pentas wayang orang yang mungkin ”asing” bagi mereka yang mempunyai pengalaman menikmati pertunjukan wayang.

Judul dan konsep pertunjukan tersebut memang disodorkan untuk publik yang belum mengenal atau belum terbiasa menyaksikan pergelaran wayang.

Lakon berkisah tentang lahirnya Gatotkaca yang bernama kecil Tetuko garapan sutradara Mirwan Suwarso, bekerja sama dengan dalang wayang kulit Sambowo Agus Harianto dan para pemain wayang Orang Bharata, Jakarta. Mereka pentas di The Hall, Senayan City, Jakarta, pada 27-28 Mei. Pertunjukan wayang multimedia berdurasi 55 menit dengan bahasa Indonesia ini melibatkan unsur film, musik orkestra dengan aransemen tertulis yang melibatkan instrumen gesek, gitar elektrik, garapan komposer film Deane Ogden. Juga dilibatkan belada diri wushu.

Ada upaya menarik wayang dari ranah tontonan tradisi (Jawa), dan meletakkannya di luar komunitas penonton tradisinya. Wayang dibawa ke katakanlah wilayah yang lebih universal. Penggunaan bahasa Indonesia, serta lokasi panggung di pusat perbelanjaan Senayan City merupakan pilihan sadar untuk mendekatkan wayang kepada khalayak luas.

Panggung dilengkapi dengan tiga layar lebar untuk pemaparan film. Satu layar persis berada di panggung sebagai semacam latar belakang. Dua layar lain berada di kanan dan kiri panggung. Ada lagi satu kelir, atau layar yang biasa digunakan dalam pergelaran wayang kulit di sebelah kanan panggung.

Kita lihat bagaimana panggung dan layar-layar tersebut berfungsi. Di panggung terjadi adegan perang tanding antara kesatria melawan buto rambut geni atau raksasa berambut api. Seperti pada adegan perang panggung wayang, mereka juga jumpalitan, lengkap dengan salto segala. Adegan pepe- rangan berlanjut dalam versi film di layar lebar dengan lanskap berupa alam nyata. Akan tetapi, tetap dengan kostum panggung. Aksi wayang versi panggung mengalami semacam transformasi sinematis di layar film. Gaya laga versi film pada pentas ini

melibatkan penata laga Benjamin Rowe, penggarap koreografi laga film-film Hollywood.

Pola adegan serupa digunakan pada adegan-adegan berikutnya. Termasuk adegan klimaks, yaitu lahirnya Gatotkaca dari kawah Candradimuka. Di layar terpapar gambar kawah memerah dengan api menggelagak. Di panggung, bayi Gatotkaca dimasukkan ke dalam kawah yang divisualkan dengan gunung kecil.

Kagok

Sebelum pentas dimulai, dalang Sambowo memberi semacam pengantar singkat di atas panggung. ”Kami seniman dari kesenian tradisi mencoba berdialog dengan disiplin seni lain,” katanya.

Jika pertemuan lintas disiplin seni itu dianggap dialog,

Jabang Tetuko ini masih terasa sebagai dialog yang kagok.

Transformasi bahasa dari Jawa ke Indonesia dalam pentas terkesan sekadar mengkomunikasikan cerita. Dan penonton memang mampu menyerap makna dialog. Namun, upaya tersebut belum sampai pada taraf menjadikan bahasa (Indonesia) sebagai unsur tontonan yang enak dinikmati.

Peralihan adegan dari panggung ke layar film, atau sebaliknya, juga membekaskan kegagapan. Kostum panggung yang dirancang dengan pertimbangan estetika panggung dan kebutuhan tari itu terkesan kagok ketika diletakkan dalam lanskap riil, alam nyata. Narada, misalnya, dalam film mengenakan kostum panggung dan kepala yang masih mendongak berlari-lari di tengah hutan.

Adegan terbang tokoh Gatotkaca yang menggunakan peranti sling, semacam tali baja, sebenarnya bisa memberi sensasi terbang yang secara visual menarik. Persoalannya adalah Gatotkaca masih terbang dengan gerakan tari panggung dan belum memberi impresi terbang. Secara visual, ia masih terkesan sekadar diangkat dari permukaan lantai panggung.

Dalam versi wayang orang tradisi, tari lebih mampu menyampaikan gerak berupa kiprah, yang bisa diimajinasikan sebagai terbang. Rusman (almarhum), tokoh pemeran Gatotkaca legendaris dari Wayang Orang Sriwedari, Solo, menjadi panutan standar gerak kiprah tersebut.

Terobosan

Bagaimanapun, pentas Jabang Tetuko, an Immersive Cultural Experience yang didukung Djarum Apresisasi Budaya ini bisa dikatakan sebagai terobosan menarik dalam seni pertunjukan yang belakangan mulai diminati khalayak. Menggali tokoh superhero dari ranah tradisi dan membahasakannya dalam idiom tontonan modern merupakan upaya kreatif.

Sutradara Mirwan Suwarso menggagas pentas ini berangkat dari keprihatinannya pada kondisi wayang yang terasing dari publik di negeri sendiri. Ia lalu mengonsep wayang sebagai hiburan yang tidak segmentatif hanya untuk komunitas tertentu.

”Kalau kami memainkan wayang seperti apa adanya, berapa orang sih yang bisa mengikuti. Anak-anak Jawa di Jakarta saja tidak bisa menikmati,” kata Mirwan.

Jabang Tetuko merupakan terobosan dan ”bayi” dari upaya dialog lintas disiplin seni. Dan berkesenian adalah proses dialog tanpa henti, yang suatu kali diharapkan akan fasih juga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com