Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menduniakan Suara Papua

Kompas.com - 11/07/2011, 03:09 WIB

OLEH ESTER LINCE NAPITUPULU

Potensi suara dan kekayaan musik Papua memesona Aris Sudibyo, guru musik, juri, dan pemimpin paduan suara. Aris yang berprofesi sebagai dosen pun memutuskan meninggalkan tanah Jawa tahun 2005 guna memenuhi mimpinya, mengasah suara khas pemuda-pemudi Papua ke kancah dunia. 

Setelah dua tahun tinggal di Papua dan menjadi guru musik di Sekolah Kristen Kalam Kudus, Jayapura, Aris membentuk paduan suara anak muda Papua. Ia menggandeng tokoh paduan suara Tanah Papua, Agus Samori dan Hannoch Tanatty, lalu membentuk Paduan Suara Wakhu Bhim yang dalam bahasa Sentani Tengah berarti gaung tifa, Oktober 2007.

Belum genap setahun, Paduan Suara Wakhu Bhim mengukir prestasi pada 5th World Choir Games atau Olimpiade Paduan Suara Dunia di Graz, Austria (2008), yang diikuti 93 negara. Wakhu Bhim meraih medali emas kategori folklore dengan lagu ”E Mambo Simbo” (suku Asmat) dan ”Yesus nit Hasik” (suku Dani), serta medali perak kategori Mixed Choir.

Penampilan Wakhu Bim di Graz membuat mereka mendapat kehormatan tampil di antara musisi paduan suara dunia dalam 8th World Choir Symposium di Kopenhagen, Denmark. Mereka tampil dalam konser utama di Royal Opera House.

Wakhu Bim terpilih mewakili Asia Tenggara untuk tampil di televisi Austria dalam program We Are The World, Die Grosse Sommer-Nacht der Chore. Paduan suara lainnya antara lain dari China, Australia, Amerika Serikat (AS), dan Afrika Selatan.

Prestasi Wakhu Bim di kancah internasional membuka jalan untuk semakin dikenal di Tanah Papua dan Indonesia. Mei lalu, mereka tampil di hadapan Presiden dan Wakil Presiden dalam peluncuran Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.

Cerita teman

Aris jatuh cinta pada Papua sejak di bangku SMA. Teman sekolahnya, Beni asal Wamena, selalu bercerita tentang Papua dan sering memberinya oleh-oleh khas Papua, seperti panah dan noken.

”Dalam hati, saya berjanji, kalau Tuhan mau suruh saya pergi ke sana, saya mau hidup di Papua,” ceritanya.

Dalam perjalanan waktu, Aris yang melanjutkan kuliah di jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, Surabaya, tak lagi fokus pada keinginannya ke Papua. Ditambah kesibukannya dalam tarik suara meningkat, setelah ia mengembangkan paduan suara di kampus, juga di tempatnya bekerja, gereja-gereja di Jawa Timur. Ia pun menjadi juri paduan suara nasional.

Kecintaan Aris pada seni suara mendorong dia kuliah ganda, yakni di bidang musik di Surabaya, Jawa Timur. Ia juga mendapat tawaran meraih gelar sarjana musik gereja di Singapura.

Keinginannya berkontribusi dalam pengembangan musik Tanah Air mendapat wadah di Universitas Petra, lewat program pengembangan musik wilayah Indonesia Timur.

Tahun 2001, Aris dan istrinya, Evelyn, pemusik, mengunjungi beberapa daerah di Papua. Mereka memberi pelatihan pada masyarakat dan gereja. Kesempatan ini justru membuat istrinya jatuh cinta dan ingin pindah ke Papua.

”Saya kaget karena istri saya yang justru bersemangat. Saya belum punya keinginan kuat pindah ke Papua,” kisahnya. Aris yang menjadi pelatih dan pembina paduan suara di Yogyakarta, Surabaya, hingga Singapura, itu sempat bimbang saat Evelyn mendorongnya pindah ke Papua.

”Saya bimbang. Di hati saya ada keinginan mengembangkan musik di Papua karena potensi suara orang Papua yang khas. Kita mudah menemukan penyanyi yang bagus di Papua. Tetapi potensi besar itu belum ada yang mengasah. Di sisi lain, saya punya cita-cita membuat konser besar. Itu berarti harus di kota besar,” katanya.

Aris memilih memantapkan hati mewujudkan keinginan lamanya, mengembangkan potensi suara orang Papua. Jalan itu terbuka saat dia ditawari menjadi guru musik di sekolah swasta di Jayapura.

Keinginannya semakin kuat karena ia iri dengan orang Filipina. Di Singapura misalnya, dengan mudah ia menjumpai penyanyi dari Filipina. Padahal, ia merasa suara penyanyi Indonesia tak kalah bagus.

”Saya geram, kok enggak ada penyanyi Indonesia? Padahal orang Batak (Sumatera Utara), Manado (Sulawesi Utara), Ambon (Maluku), Kupang (Nusa Tenggara Timur) itu bagus-bagus suaranya,” katanya, mencontohkan.

Generasi muda

Awalnya, Aris merasa buntu untuk mewujudkan cita-citanya di Papua. Berkat ide para dewan juri dalam Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) se-Tanah Papua di Biak, yang terdiri dari Aida Swenson Simanjuntak, Aris Sudibyo, Ronald Pohan, dan Christian Tamaella, lahirlah ide membentuk paduan suara.

Aris yakin, kekayaan seni dan budaya Papua bakal diterima di dunia. Kekhasan Papua menjadi kekuatan paduan suara itu.

Pada awal pembentukan Wakhu Bhim, ada lebih dari 180 peserta audisi. Lalu terpilih sekitar 40 pemuda-pemudi berusia 20-35 tahun. Paduan suara ini tak hanya melatih teknik bernyanyi. ”Saya ingin membangun karakter pemuda Papua yang lebih baik, lewat musik. Jangan lagi Papua tertinggal dan dipandang sebelah mata,” katanya.

Karena itu, Aris termasuk ”keras” menetapkan aturan bagi pemuda yang bergabung dengan Wakhu Bhim. Mereka tak boleh merokok, minum minuman keras, melakukan seks bebas, termasuk makan pinang.

Lewat Wakhu Bhim diharapkan muncul generasi muda Papua yang berkualitas secara mental, spiritual, dan intelektual. Dalam bidang musik, paduan suara ini ingin menghasilkan kader musik yang andal dan diharapkan menjadi vokalis, pengajar, dan pelatih paduan suara bagi seluruh masyarakat di tanah Papua di masa depan.

Aris meyakini, seni dapat membangun karakter dan mengasah kreativitas seseorang. Ia berharap dapat mengembangkan sekolah musik di tanah Papua.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com