Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Novia Bicara Jiwa, Iwan Fals Mendobrak Hak

Kompas.com - 01/08/2011, 05:29 WIB

Dalam hitungan satu bulan, setidaknya di Yogyakarta ada tiga pentas konser musik yang tergarap dalam nuansa lebih idealis daripada sekadar pentas musik umumnya. Ketiga pentas musik itu jika direnungkan memiliki satu benang merah.

Satu hal yang pasti sama, yaitu sama-sama sebuah proyek yang merugi. Namun, di dalam proyek rugi itu tersimpan pula kesamaan visi, yaitu tentang kemanusiaan, kebersamaan, dan keprihatinan terhadap kondisi bangsa; menggugat kenyataan hidup manusia di tengah pergulatannya dalam ranah politik, sosial, dan budaya.

Pentas pertama dilakukan oleh Sawung Jabo bersama kelompok Sirkus Barock-nya, Rabu (25/5), di Taman Budaya Yogyakarta. Pentas gratis di Yogyakarta ini dilakukan setelah Jabo bersama kelompoknya pentas di Jakarta (20/5) dan Bandung (22/5). ”Pentas di tiga kota itu sengaja gratis. Harapannya memang agar semua lapisan masyarakat bisa mendengar. Bukan lagu-lagu baru yang kami tampilkan. Kenapa harus lagu baru jika lagu-lagu lama masih relevan untuk membaca zaman,” kata Jabo.

Sesuai tajuk pementasannya, ”Langit Merah Putih”, sebagaimana diungkapkan dalam pengantar setiap lagunya, Jabo seperti ingin mengatakan, belum ada kesadaran dalam setiap individu manusia bahwa dirinya memiliki kekuatan nalar, nurani, naluri, atau kata hati untuk membangun hidup berkepribadian, berperikemanusiaan, dan bermartabat.

Lagu-lagu yang dibawakan, seperti ”Badut” yang berkisah tentang kebohongan politisi, ”Bento” yang berbicara tentang kedunguan manusia, ”Kuda Lumping” yang berbicara tentang manusia yang lupa diri, atau ”Bongkar” yang mengisahkan tekad untuk memerangi kebiadaban, adalah lirik-lirik yang menggambarkan kegagalan manusia dalam mencari jati dirinya. Kehilangan jati diri berarti manusia telah kehilangan akal sehat.

”Banyak di negeri ini orang yang membangun benderanya sendiri, dan bendera itu mereka genggam erat. Yang terjadi, bukannya multikulturalisme yang terkorbankan, melainkan kepentingan pribadi, kelompok, dan ambisi-ambisi adalah upaya-upaya merobohkan bendera Merah Putih. Kita harus mengembalikan langit Indonesia dalam bendera Merah Putih,” kata Jabo dalam jumpa pers sebelum keliling di tiga kota.

Jiwa

Konser Novia Kolopaking yang relatif megah, yang juga berlangsung di Taman Budaya Yogyakarta, Selasa (31/5), seperti menjadi pengakuan seorang selebriti akan hakikat hidup. ”Perasaan saya menyanyi saat ini berbeda dengan 10 tahun yang lalu saat saya menjadi penyanyi profesional. Kalau dulu saya menyanyi dibayar, setelah itu habis perkara. Namun, malan ini, saya menyanyi benar-benar menjadi diri saya sendiri, nyanyian jiwa saya yang ingin bernyanyi dalam bentuk ucap syukur kepada Allah. Ucap syukur inilah yang ingin saya bagikan kepada Anda sekalian. Lebih dari soal kesenian, saya ingin merajut silaturahim dengan masyarakat yang sangat saya cintai. Selama ini, saya ingin sekali mengembangkan semangat persaudaraan antarsesama,” kata Novia mengawali konsernya.

Semangat persaudaraan ini semakin jelas tergambar dalam lagu berjudul ”Hati Matahari” yang menjadi tajuk konser malam itu. Lagu yang liriknya ditulis oleh Emha Ainun Nadjib dan digarap seniman Yogyakarta Untung Basuki itu menandai pentingnya manusia merujuk kembali pada spiritualitas yang bersumber pada cinta Tuhan demi mengelola kehidupan. ”Hati Matahari” merupakan metafora hakikat Tuhan; Sang Mahasumber segala kehidupan, kebaikan, kebahagiaan, dan keindahan.

”Ketika muncul gerhana politik, sosial, ekonomi, dan budaya, manusia dituntut menjadi pembebas yang menerbitkan cahaya bagi kehidupan kolektif. Cahaya matahari itu merupakan perpaduan dari cinta, pengorbanan, kecerdasan, ketulusan, dan kerja keras,” kata Novia.

Sebagian besar lagu Novia Kolopaking yang diambil dari 11 album miliknya yang dikumandangkan pada tahun 1990-an itu digarap dalam selera musik anak muda oleh grup band Letto pimpinan Noe. Kolaborasi dengan kelompok musik Kiai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Nadjib yang menekankan pada musik-musik perkusi dan iringan grup orkestra Matarantai membuat konser ini terasa megah. Kehadiran orkestra Matarantai yang terdiri atas kalangan akademisi musik yang dibentuk Emha Ainun Nadjib membuktikan bahwa Yogyakarta merupakan output terbesar dalam menyangga grup-grup orkestra di Indonesia.

Mendobrak

Pada hari yang sama dengan konser Nokia Kolopaking, di Pondok Pesantren Al Qodir, kawasan Cangkringan, tepatnya di lereng Gunung Merapi, penampilan Iwan Fals, Sawung Jabo, Kiai Zastrow, dan dalang kontemporer Ki Enthus Susmono bagai sebuah kekuatan ”takbir” memberi pencerahan kepada warga yang baru saja terlanda bencana letusan Gunung Merapi itu. Bukan sekadar pentas musik, orasi Kiai Zastrow dan penampilan wayang golek Ki Enthus yang menampilkan rupa-rupa tokoh politik nasional mampu membangun kolaborasi yang menegaskan adanya harapan bahwa kesenian dan kebudayaan mampu memberi daya dobrak untuk sebuah perubahan.

Disambut teriakan-teriakan agresif dari massa penonton yang merasa terpuaskan, lagu-lagu Iwan Fals dan Jabo diterjemahkan dalam dialog antara Zastrow dan Ki Enthus lewat wayang goleknya. Yang terjadi kemudian, lagu-lagu yang liriknya selalu berbicara tentang kritik sosial itu seperti mampu memberi referensi kepada khalayak penonton yang secara spontan bisa memahami persoalan yang menimpa dirinya.

Jabo dan Iwan Fals membawakan lagu terakhir berjudul ”Cinta”. Begini potongan liriknya, ”…orang bicara cinta, atas nama Tuhannya… namun mengapa membunuh, menyiksa berdasarkan keyakinan mereka…” Lagu itu diterjemahkan oleh Zastrow dan Ki Enthus sebagai kegagalan Indonesia membangun pluralisme.

Iwan Fals membawakan lagu itu benar-benar penuh penghayatan. Bahkan, pada puncak lagu itu, Iwan terkesan seperti memasuki dunia transenden (kesurupan). Sebuah penampilan yang jarang terlihat pada pementasan-pementasan Iwan selama ini. Apakah ini totalitas seorang seniman dalam menggelorakan visinya? Hanya Iwan yang tahu.

Yang pasti, kehadiran Jabo, Iwan, Zastrow, dan Ki Enthus bukan sekadar ingin berpentas musik. Mereka seperti ingin membawa kabar kepada rakyat bahwa pentas kolaborasi itu membawa semangat lebih untuk berkisah tentang situasi negeri yang perlu dikritisi.

Rakyat di pelosok tidak hanya disuguhi potongan-potongan kisah politik di televisi yang saling berbenturan dan sulit dipahami. Betapa pun kecilnya, Jabo dan Iwan dengan lirik-lirik lagunya atau Zastrow dan Ki Enthus dengan orasi-orasinya—yang malam itu banyak bicara tentang hak—sudah memberitahu tahu kenapa rakyat masih menderita.

(Th Pudjo Widijanto)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com