Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karena Cinta Yockie Suryoprayogo...

Kompas.com - 07/08/2011, 02:02 WIB

SALOMO SIMANUNGKALIT

Berlian Hutauruk, Fariz RM, Eet Syahranie, dan Aning Katamsi berhasil membangkitkan ”semangat zaman” Yockie Suryoprayogo berkarya sejak pertengahan 1970-an hingga akhir 1980-an dalam konser apresiasi ”Yockie Reunion, Because of Love” di Nan Xiang Executive Ballroom Hotel Sultan, Jakarta, pada Jumat, 29 Juli. Mereka menghidupkan periode emas musik pop Indonesia dengan lagu-lagu yang menjadi ”klasik” dan semestinya dapat dinikmati semua generasi yang lahir sejak awal 1950-an.

Dalam periode itu, dialog antara seniman musik dan produser rekaman masih mendapat ruang sehingga terbitlah karya-karya yang genrenya amat bervariasi dan di sana-sini terasa kekhasan masing-masing. Yockie sebagai penata musik dan pencipta lagu memainkan peran penting pada masa itu dengan melahirkan album-album tonggak dan tahan zaman bagi Berlian Hutauruk, Chrisye, Andi Meriem Mattalata, dan God Bless—untuk menyebut beberapa nama. 

Ambil misalnya Badai Pasti Berlalu (1977) yang melibatkan Berlian, Chrisye, Eros Djarot, Debby-Keenan Nasution, Fariz RM dan sering disebut sebagai album pop terbaik yang pernah dihasilkan anak negeri dalam 34 tahun terakhir. Di situ Yockie berperan sebagai salah satu penata musik.

Chrisye dan Andi Meriem sama-sama produktif dan bernasib baik: tiap album mereka dengan berbagai penata musik selalu menghasilkan satu-dua nomor hit. Namun, album terbaik untuk Chrisye maupun Andi Meriem justru yang tata musiknya dikerjakan Yockie: Sabda Alam (Chrisye, 1978) dan Bahtera Asmara (Andi Meriem Mattalata, 1978).

Tiap lagu dalam kedua album itu merata sebagai andalan, selalu enak didengar dan perlu. Simaklah Chrisye dengan ”Juwita”, ”Sabda Alam”, ”Smaradhana”, ”Duka Sang Bahaduri”, ”Kala Sang Surya Tenggelam”, ”Nada Asmara”, ”Citra Hitam”, ”Adakah”, dan ”Anak Jalanan”. Nikmati pula Andi Meriem dalam ”Hasrat dan Cita”, ”Bahtera Asmara”, ”Cintaku”, ”Bisikku”, ”Bulan Tolonglah Beta”, ”Datanglah Terang”, dan ”Merepih Alam”.

Keandalan penataan musik Yockie maupun keunggulan ciptaannya juga berjejak pada kelompok musik rock God Bless. Keikutsertaannya di sana tidak berlangsung lama. Namun, album terbaik grup itu, Semut Hitam (1988), tak lepas dari sentuhan tangannya.

Reuni karya

Konser apresiasi kemarin yang diberi tajuk ”Yockie Reunion” itu lebih mereunikan karya-karyanya—sebagai pencipta maupun penata musik—ketimbang mereunikan teman-teman lamanya yang pernah bekerja sama pada masa yang sangat lalu itu. Keenan Nasution dan pemain bas Donny Fatah datang, tetapi keduanya di barisan penonton. Yang menemani Yockie di panggung adalah Oni Krisnerwinto (Orkes Sa’unine) pada biolin dan saksofon, Indro Hardjodikoro (bas), Rere (drum), dan Edi Kemput (gitar) yang relatif baru bekerja sama.

Hanya Berlian, Fariz, dan Eet dari periode emas yang terlibat. Tentu juga Sys NS. Namun, yang disebut terakhir ini pada malam itu bertindak sebagai pembawa acara, bukan pembaca sajak seperti perannya dalam album Musik Saya adalah Saya (Yockie, 1979). Di luar itu adalah Mel Shandy, yang album-albumnya memang ditangani Yockie dalam periode berikutnya, Aning Katamsi, Syaharani, Rezanov (Gribs), dan Ervin (Edane).

Terasa betul betapa tidak sehat pertumbuhan musik pop di sini. ”Industri musik” di sini hanya bekerja untuk ”industri” itu sendiri, bukan kedua-duanya: ”industri” dan ”musik”. Hampir tak terjadi rekaman ulang untuk karya-karya yang tahan zaman, panggung-panggung musik pun hanya untuk mereka yang terlibat dengan industri yang sedang berlangsung sehingga generasi yang datang belakangan menjadi ahistoris, tak mengenal dengan baik semangat zaman ketika karya-karya itu diciptakan pada masanya.

Inilah yang menjelaskan mengapa seorang Syaharani yang bagus membawakan lagu-lagu jazz tidak memberi rasa apa-apa ketika membawakan ”Merpati Putih” dalam aransemen yang hampir tidak berbeda dengan yang tersua dalam Badai. Semangat zaman lagu itu dalam suara liris Chrisye yang tinggi sama sekali tak berjejak. ”Saya baru kelas dua SD ketika Sabda Alam (diterbitkan),” katanya.

”Anak Jalanan” bernasib serupa. Kontrol irama dalam versi Chrisye ketika membawakan nomor ini dalam album Sabda Alam juga tidak tertangkap oleh duet Rezanov-Ervin. ”Jeritan Seberang” pada album Jurang Pemisah (1977) yang cerah bening dalam suara Chrisye menjadi buram ketika dibawakan Rezanov. Rezanov dan Ervin baru memberi rasa yang pas ketika membawakan ”Kehidupan” dari album Semut Hitam God Bless dan ”Sang Jagoan” yang diiringi gitar Eet Syahranie.

Suasana 1970-an dari jenis yang tahan zaman itu baru menemukan aktualitasnya pada ”Badai Pasti Berlalu” dan ”Matahari” yang dibawakan Berlian Hutauruk, penyanyi aslinya, serta ”Duka Sang Bahaduri” dalam duet Yockie-Aning, ”Sabda Alam” oleh Fariz, ”Citra Hitam” dalam suara Yockie, dan ”Malam Pertama” dari album Resesi Chrisye yang dibawakan duet Fariz-Aning.

Keterputusan ”sejarah” di ranah musik pop kita barangkali akan tergusur bila konser apresiasi ”Karena Cinta Yockie” yang dimulai di awal dasawarsa kedua abad ke-21 ini bisa dilanjutkan.

”Kita bersyukur konser apresiasi ini diadakan. Mudah-mudahan ada yang peduli,” kata Sys NS. ”CSR perusahaan-perusahaan untuk musik sajalah, sebab negara tidak mengurus musik. Kalaupun ada peran negara, itu hanya 0,00000 sekian persen.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com