Pendakian Gunung Tambora (Bagian 1)
KOMPAS.com - Lapisan piroklastik terlihat jelas dan membentuk garis, menutup tanah yang berwarna kontras lebih gelap di bawahnya. Garis-garis itu diberi tanda sekaligus mengukur angka kedalaman galian. Di dalam galian, beberapa petugas diketuai oleh I Made Geria dari Balai Arkeologi Bali, bekerja melakukan pengangkatan temuan reruntuhan rumah kayu bekas permukiman yang tertimbun material letusan Gunung Tambora.
Hari itu Senin, 20 Juni 2011, saya bersama tim Ekspedisi Cincin Api beruntung bisa menyaksikan proses ekskavasi di kawasan perkebunan kopi sekaligus menggali informasi tentang kebudayaan Tambora. Tim ditemani oleh Parno, kepala perkebunan kopi, yang malam hari sebelumnya dengan ramah menyambut serta menyiapkan tempat untuk menginap.
Ekskavasi kali ini menemukan reruntuhan rumah berbahan kayu dan bambu di kedalaman sekitar tiga meter. Tidak jauh dari kayu-kayu terdapat batuan bekas perapian untuk memasak. Para arkeolog dengan perlahan mengupas material. Saya merekam aktivitas mereka dan terseret masuk ke dalam galian sambil membayangkan seperti apa kebudayaan penghuni rumah ini dan bagaimana nasib mereka ketika Gunung Tambora meletus dahsyat 10 April 1815.
Sejak awal memotret, saya terus membandingkan dengan catatan geolog Amerika Serikat, Haraldur Sigurdsson yang menemukan bukti peradaban Tambora saat melakukan penelitian di Dusun Tambora pada tahun 2004. Dia dan anggota tim dari Indonesia menemukan tulang belulang manusia dan artefak yang tertimbun material letusan Gunung Tambora. Temuan itu paling tidak menguatkan adanya peradaban kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar.
Sejak berangkat dari Jakarta hingga tiba di Dusun Tambora, ada beberapa pertanyaan yang ingin saya jawab. Apakah peradaban ketiga kerajaan itu musnah? di mana pusat ketiga kerajaan itu dulunya berada? serta benarkah kerajaan itu memiliki masyarakat dengan kebudayaan Mon-Khmer dibuktikan dari artefak yang ditemukan Parno di perkebunan kopi dan diperlihatkan langsung kepada saya.
Walaupun masih dalam kontroversi, kemusnahan kerajaan tersebut masuk akal karena sejarah mencatat Gunung Tambora meletus dalam skala tujuh pada Volcanic Explosivity Index yang artinya letusannya masuk dalam kategori sangat besar. Abu vulkanik tersebar hingga Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Maluku. Jumlah korban tewas mencapai 90.000 orang.
Memulai pendakian
Pengangkatan temuan di lokasi ekskavasi terus berlangsung. Selepas tengah hari, saya dan enam orang anggota tim ekspedisi harus melakukan pendakian ke puncak Gunung Tambora. Sisa anggota tim, Amir Sodikin dan Khairul yang tiba malam harinya akan melanjutkan pengumpulan data temuan ekskavasi untuk bahan tulisan.
Pukul 15.00 kami memulai pendakian dari rumah pengurus pekerbunan kopi. Sore hari waktu yang tidak lazim untuk memulai pendakian seperti yang dilakukan para pendaki Gunung Tambora umumnya.
Perjalanan diawali dengan menyusuri kebun kopi dengan kontur tanah yang landai. Kebun kopi peninggalan Belanda yang kini menjadi milik pemerintah daerah ini sangat luas. Tim tiba di pos satu setelah kebun kopi berangsur berganti dengan vegetasi hutan tropis. Beberapa porter membawa pakis yang dipetik di sepanjang jalan setapak yang dilewati. Pakis inilah yang menjadi salah satu pelengkap menu makan malam.
Matahari mulai lamat-lamat, pipa air yang tadinya menjadi penanda arah kaki mulai sulit dilihat. Jadwal untuk menginap di pos dua tetap dijalani, sehingga tim tidak berlama-lama istirahat di pos satu dan segera melanjutkan perjalanan. Saya tertinggal cukup jauh di belakang karena harus menyelesaikan foto panorama 360 derajat di pos satu.
Memasuki malam, saya masih tertinggal di belakang. Titik-titik cahaya dari head lamp yang dikenakan anggota tim di depan mulai tidak terlihat. Rasa kantuk karena kurang tidur mulai menyerang dan mengakibatkan langkah kaki kian melambat. Saat berhenti, mata tidak ingin kompromi dan sempat tertidur bersandar di carrier 60 liter yang saya kenakan. Namun, kenikmatan tidur hanya sesaat, disadarkan oleh suara-suara anggota tim yang terdengar pelan dari kejauhan. Berisiko jika benar-benar pulas tertidur, dan bagaimanapun harus mengejar tim yang sudah lebih dulu tiba di pos dua.
Waktu pendakian yang memang tidak umum. Biasanya pos dua dilalui siang hari dan jarang para pendaki menginap di pos ini. Namun tim ekspedisi memilih kamp di pos dua meski harus digerayangi pacet daun. Bagi saya, yang sering masuk ke hutan kalimantan, keberadaan pacet tidak terlalu saya hiraukan. Yang penting jumlahnya tidak terlalu banyak dan di dalam tenda steril. Meskipun ada yang menempel di tubuh, jika pacetnya kenyang akan jatuh atau mati dengan sendirinya.
Pos dua berada di kawasan lembah dengan hutan hujan yang basah. Area tidak terlalu luas hanya cukup untuk dua tenda. Usai makan malam semua langsung tidur di dua tenda yang didirikan berdampingan rapat. Fikri Hidayat
Bersambung
View Ekspedisi Cincin Api Kompas - Tambora in a larger map